Wednesday, September 14, 2016

Langit Biru Bagian 10



“Aku? Aku Sinka Juliani.” Ucap wanita itu. Sinka? Baru pertama kali aku melihatnya. Dia cantik, manis juga imut. Apa lagi dengan cardigan berwarna merah muda dan celana legging yang dia pakai membuat pesonanya benar-benar terpancarkan. Apa yang kupikirkan, ngaco..

“Ohh Sinka. Aku Kido.” Ucapku. Lalu berjalan mendekatinya. Dia menatapku dengan penuh rasa takut, nafasnya mulai cepat. Bahunya terlihat bergetar. Ada apa dengannya?

“Oi kau ini kenapa? Jangan khawatir, aku tidak akan berbuat macam-macam.” Ucapku menenangkannya, karena kalau dilihat dari ekspresinya benar-benar terlihat sangat ketakutan. Seperti melihat seorang pembunuh bayaran yang siap membunuhnya dengan keji.

“Ohh iya.” Ucapnya, kulihat dia sedikit lebih tenang. Dia sudah bisa mengontrol pernapasannya. Yang benar saja, kenapa aku harus bertemu dengan orang seperti ini pikirku dalam hati.

“Kido!!” Ucap seseorang yang baru saja datang. Ternyata itu kak Ve.

“Ahh apa?” Tanyaku. Dia lalu melirik kearah wanita yang sedang bersamaku. Kak Ve tersenyum jail, jangan bilang…

“Kak Ve ini bukan seperti yang kak Ve lihat.” Ucapku dengan cepat, sebelum kak Ve menyatakan pernyataan yang tidak masuk akalnya.

“Ohh, begitu. Kau tidak pernah bilang pada kakak kalo punya kenalan wanita cantik di Las Vegas ini.” Ucap kakakku yang mulai ngaco, baiklah akan aku layani guyonannya.

“Baiklah, sepertinya memang tidak ada lagi yang harus aku rahasiakan.” Ucapku, mendengar ucapanku. Sinka dan Kak Ve terlihat benar-benar terkejut. Aku lalu merangkul Sinka, dia sedikit berontak tapi aku tidak akan melepaskannya. Maaf, hihihi.

“Jadi, kalian benar-benar berpacaran.” Tanya kakakku. Aku benar-benar puas melihat ekspresi yang ditunjukan kak Ve. Seakan tidak percaya dengan apa yang aku katakan dan lakukan didepan matanya.

“Apasih!!” Berontak Sinka lalu menamparku.

Plakk

“Jadi cowo brengsek banget sih, gue ga suka sama sikap lu.” Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk kearahku. “Denger ya, gue bukan pacarnya. Amit-amit punya pacar kayak dia yang sok keganjenan ga jelas.” Ucapnya lagi sambil melihat kak Ve lalu dia pergi entah kemana. Aku mengusap pipiku yang ditampar wanita itu, sial!! Berani sekali dia melakukan itu. Kulihat kak Ve hanya berusaha menahan tawanya. Ini memalukan.

“Hahahaha. Kido Kido, kayaknya kamu kurang beruntung deh hari ini.” Ucap kakakku lalu kembali tertawa. Sial, memuakkan sekali. Sinka Juliani, awas saja. Dia mempermalukanku didepan kakakku sendiri, nanti aku balas kalau bertemu lagi.

“Yaahh ketawa aja teruuss. Puas lihat adiknya ditampar seorang wanita?” Ucapku dengan penuh kekesalan.

“Maaf, hahahah… lagian, kalo emang dia bukan pacar kamu jujur aja kali, malah so2 an merangkulnya lagi. Haahaha.” Ucapnya kemudian tertawa lagi, yaampun. Harga diriku benar-benar turun dihadapan kakak yang menyebalkan ini. Sinka juga sama menyebalkannya, bagaimana bisa saat pertama kali memperkenalkan dirinya sendiri dia terlihat begitu anggun, cantik, sopan, baik. Tapi nyatanya. Apa dia punya kepribadian ganda? Entahlah.

“Udah ketawanya?” Tanyaku sinis. Perlahan kak Ve menghentikan tawanya yang renyah itu.

“Maaf. Ohh iya Ayah dan Ibu tadi menyuruhku untuk mencarimu. Kita akan pulang.” Ucap kakakku lalu berjalan pergi.

“Oh iya sebelum itu. Kak Ve, kau tau Shinji?” Tanyaku yang membuat langkahnya terhenti. Dia masih diam mematung disana, entah sedang memikirkan apa aku juga tidak tau.

“Sebelum aku berangkat ke Amerika. Aku sempat bertemu dengannya.” Ucapku, kak Ve hanya menunduk.

“Sebenarnya aku sudah bertemu dengannya sekitar satu hari setelah keberangkatan kak Ve kesini. Namun waktu itu dia tidak memperkenalkan dirinya padaku, aku juga tidak terlalu menganggapnya.” Ucapku. Aku berjalan mendekati kak Ve.

“Namun, sebelum aku dan ibu berangkat kesini. Malam harinya dia mengajak bertemu denganku. Awalnya aku tidak tau Shinji itu siapa, dan karena rasa penasaran itulah makanya aku menyetujui dan menemuinya malam itu.” Ucapku. Kak Ve masih diam mematung, entah dia mendengarkan ceritaku atau mengabaikannya aku tidak tau.

“Bersambung.” Ucapku pergi. Kak Ve lalu memegang tanganku saat aku berjalan melewatinya.

“Lanjutkan Kido!!” Ucapnya dengan wajah yang kulihat sedikit berkaca-kaca. Sepertinya memang benar kalau orang yang bernama Shinji itu memiliki hubungan dengan kak Ve.

“Aku kira kau tidak tertarik.” Ucapku sedikit cuek. Dia melepaskan pegangannya lalu melihatku.

“Apa saja yang sudah dia katakan padamu?” Tanyanya. Aku berbalik kearahnya. Sekarang posisi kami sejajar dan sangat dekat.

“Tidak banyak.” Ucapku. Kak Ve mengerenyitkan dahinya.

“Apa maksudmu?” Tanyanya lagi.

“Yang kutahu hanyalah dia sangat suka padamu. Dia sudah beberapa kali menyatakan perasaannya padamu dan memintamu agar menjadi pacarnya, tapi selama beberapa kali itu juga kau terus menolaknya. Dengan alasan yang sedikit tidak kumengerti.” Jelasku.

“Alasan?” Ucapnya terlihat bingung.

“Dia bilang alasan kau tidak menerimanya karena aku dan ibu. Memang sebelumnya kau pernah bilang tidak akan pacaran dulu karena takutnya itu akan membagi perhatianmu, dan akan menyita waktu berhargamu dengan kami.” Ucapku.

“Yahh memang itulah yang aku khawatirkan. Jika aku sudah mulai berpacaran dengan seseorang maka perhatianku pada mu dan ibu pasti akan terbagi. Aku tidak mau melakukannya, bagaimanapun Ayah, Ibu dan Kamu adalah salah satu harta yang paling berharga yang aku punya. Melebihi apapun itu.” Ucapnya sambil tersedu sedu.

“Tapi kau tidak bisa membohongi perasaanmu sendiri kan? Aku tau kau juga menyukainya. Terlihat ketika pertama aku menyebutkan namanya, dan juga respon yang kau tunjukan padaku. Kurasa itu cukup membuktikan kalau kau juga memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi sayang kau tidak mau mengakuinya.” Ucapku. Kak Ve hanya menunduk. Suasana menjadi agak hening. Lalu aku merasakan ada getaran gelombang kenyerian pada pipiku.

“Kamu itu ya.!!” Ucapnya lalu mencubit pipiku.

“Sakit!!” Erangku.

“Tau apa kamu soal perasaan? Umurmu itu dibawahku, jangan so2 an menceramahi kakakmu sendiri. Dasar!!” Ucapnya lalu melepaskan cubitan supernya itu padaku.

“Sakit.” Erangku lalu mengusap pipi bekas cubitan supernya itu.

”Sudahlah, jangan bahas soal itu lagi. Ibu dan Ayah pasti khawatir, ayo kita segera menemui mereka.” Ucapnya lalu berjalan pergi. Aku hanya mengikutinya dari belakang sambil mengusap-usap pipiku.

“Darimana saja kalian? Ayah sangat khawatir. Ayah kira terjadi apa-apa sama kalian.” Ucap Ayahku yang langsung bertanya pada kami yang baru tiba disana.

“Tidak. Kami hanya baru dari atas.” Ucapku.

“Pipimu merah, kenapa?” Tanya Ibu khawatir.

“Tidak tidak, hanya habis dicubit nenek lampir. Tapi semuanya terkendali kok, percaya padaku.” Ucapku. Yang sepertinya membuat perasaan ibu dan ayah sedikit lega.

“Ayo kita pulang.” Ajak ayahku.

“Haaa? Pulang? Maksudnya ke Indonesia?” Tanyaku.

“Bukan itu, maksudnya pulang ke apartemen ku dasar!!” Ucap kakakku, sepertinya dia kesal.
           
Sebelum memasuki mobil, handphone ayahku berdering. Dia lalu mengangkat handphone nya dan mulai berbicara. Namun sepertinya, sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Itu karena dilihat dari ekspresi ayahku yang kelihatan terkejut sekali.

“Baiklah. Sekarang berikan posisimu…” Ucap ayahku. Apa sebenarnya yang terjadi? Ibu dan kak Ve juga ikut bingung dengan situasinya.

“Baiklah aku kesana sekarang.” Lanjut ayahku yang kemudian mematikan hpnya lalu memasukannya kedalam saku. Dia melihat kearah kami dengan ekspresi yang sedikit sedih.

“Maaf sebelumnya Ve, Kido dan kau sayang. Ini benar-benar mendadak sekali. Dan Ayah harus segera pergi kembali ke Jerman. Ayah tau mungkin ini sedikit mengecewakan. Acara yang seharusnya menjadi acara keluarga yang indah, namun nyatanya harus berakhir seperti ini. Ayah harus pergi meninggalkan kalian karena situasinya benar-benar tidak bisa ditinggalkan.” Ucap Ayahku dengan jelas menjelaskan. Aku mengerenyitkan dahiku. Terlihat juga wajah kecewa yang ditujukan kak Ve.

“Ada apa sebenarnya sayang?” Tanya ibukku yang ikut panik.

“Teman kantorku. Dia ditemukan tewas diruang kerjanya. Dan bukan hanya itu, menurut informasi 2 partner bisnis kami juga tewas secara misterius. Aku tidak tau apa yang terjadi. Makanya aku harus segera kesana dan memastikan apa yang sedang terjadi dan aku harus ikut membantu menyelesaikan masalahnya.” Ucap Ayahku.

“Tapi bukannya itu juga akan berbahaya untuk Ayah sendiri? Jika sekarang Ayah pergi ke Jerman, dan ternyata pelaku pembunuhan itu belum tertangkap. Lalu sesuatu yang buruk terjadi pada Ayah bagaimana?” Tanya kak Ve yang memegang tangan Ayah dengan erat. Memang benar, kemungkinan terburuknya juga pasti akan terjadi.

“Jangan khawatir. Justru kalau Ayah tidak pergi, nanti teman-teman yang lainnya akan kecewa. Paling tidak, Ayah mau mengungkap siapa dalang dari semua kejadian ini. Biarkan Ayah pergi. Ayah janji nanti kita akan membuat jadwal khusus untuk acara keluarga kita. Yang terindah, dan tidak ada lagi yang mengganggu. Ayah janji.” Ucap Ayahku sambil mengusap pipi kak Ve yang sedang berusaha menahan air matanya keluar.

“Janji?” Tanya kak Ve sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

“Janji.” Ucap Ayahku sambil melakukan janji jari kelingking. Aku hanya tersenyum, bagaimanapun juga. Tidak ada seorang lelaki yang menyayangi kak Ve melebihi Ayah. Tidak sampai saat ini. Begitu juga sebaliknya, hanya Ayah lelaki satu-satunya yang sangat dikagumi kak Ve. Mereka benar-benar sangat dekat sebagai seorang Ayah dan Anak.

“Jaga diri kalian baik-baik yah.” Ucap Ayahku pada Ibu.

“Kau juga.” Kata ibuku yang lalu memeluk Ayah. Kulihat air mata kak Ve juga sudah tidak bisa dibendung lagi. Yah bagaimanapun momen seperti ini jarang sekali terjadi, jadi kupikir wajar jika kak Ve sangat bersedih dengan sudahnya momen bersama Ayah.

“Lalu.” Ucap Ayahku lalu melirikku. “Jaga mereka untukku yah Kido.” Lanjut ayahku sambil mengacak-acak rambutku. Sejujurnya aku tidak suka perlakuan seperti ini.

“Tentu.” Ucapku sambil tersenyum. “Ayah juga, jaga diri baik-baik disana.” Lanjutku. Ayah hanya tersenyum lalu mendekati mobil hitam yang tidak lama baru saja datang. Ayah memasuki mobil itu, membuka jendela kacanya lalu melambaikan tangannya. Mobil itu kemudian pergi. Perlahan meninggalkan kami yang masih diam ditempat tadi. Hari yang menyenangkan, tapi juga menyedihkan karena hanya satu malam saja aku bertemu dengan Ayahku.

1 comment: