Tuesday, September 20, 2016

Langit Biru Bagian 11


Pagi hari yang indah di Nevada kota Las Vegas. Aku sudah bangun dan sedang menikmati udara segar diatas gedung apartemen. Memang tidak terlalu segar karena udara disini sudah tercampur dengan asap knalpot berbagai macam kendaraan. Tapi mau bagaimana lagi, nikmati sajalah. Di suasana seperti ini aku jadi kepikiran Shani. Bagaimana keadaannya, dimana dia tinggal sekarang, apa dia sedang tersenyum atau sedang bersedih. Ya ampun, aku harap bisa bertemu dengannya lagi. Kudengar pintu yang menghubungkan atap ini dengan lantai dibawahnya terbuka. Aku menoleh ternyata itu kak Ve. Ya ampun, wajahnya masih tetap murung seperti kemarin malam. Dia berjalan lalu berdiri disampingku.

“Masih memikirkan kejadian kemarin malam?” Tanyaku yang membuka percakapan. Dia tidak menjawab, hanya menghembuskan nafasnya lalu memajukan bibir kecilnya.

“Jangan khawatir, Ayah itu kuat. Dia pasti baik-baik saja. Lagipula kalau memang si pembunuh itu mengincar Ayah, justru aku malah kasihan sama si pembunuhnya. Mereka tidak akan bertahan lama jika harus melawan Ayah. Percayalah, dia pasti akan menepati janjinya.” Ucapku. Semoga bisa sedikit menenangkan perasaan kak Ve.

“Iya, semoga saja.” Ucapnya lalu berusaha tersenyum. Tentu saja aku tau senyumnya itu tidaklah tulus seperti biasanya, biarlah. Mungkin butuh waktu untuknya agar perasaan khawatirnya sedikit berkurang.

“Nahh gitu. Kan kalo senyum jadinya cantik.” Godaku.

“Apaan sih.” Ucapnya lalu meninju lenganku dengan pelan.

“Ohh iya nanti malam kakak ada undangan pesta ulang tahun. Kamu ikut yah.” Ajaknya.

“Ulang tahun? Siapa? Yang benar saja. Tidak.” Ucapku. Aku tidak mau ikut, disana pastilah remaja-remaja Amerika yang trend dan masa kini. Kalau aku ikut. Takutnya malah mempermalukan kakakku sendiri.

“Pokoknya harus ikut titik. Kakak ga mau dengar alasan apapun.” Ucapnya lalu pergi meninggalkanku. Kakak macam apa yang memaksa adiknya pergi ke tempat yang dia tidak sukai, sepertinya itu hanya berlaku buat kak Ve seorang.

Kami tidak melakukan banyak kegiatan hari ini. Karena memang tidak ada schedule selain menghadiri pesta ulang tahun teman kakakku dikota ini.

“Kenapa masih belum ganti baju?” Ucapnya yang sedang sibuk menata rambut panjangnya.

“Aku kan sudah bilang tidak akan pergi. Kakak saja sendiri lagipula itu kan acara ulang tahun teman kakak.” Ucapku sambil malas-malasan dikasur.

“Ihh ngga. Pokoknya kamu harus ikut!! Cepetan ganti baju sana.!!” Ucapnya sambil menarik tanganku. Aku menahannya.

“Kenapa maksa sekali sih.” Ucapku kesal.

“Kamu lupa sama janji kamu ke Ayah yang katanya siap ngejagain Aku dan Ibu saat Ayah ngga ada disini? Buktikan dong!! Kalau nanti disana ada yang macam-macam sama kakak siapa yang mau ngelindungin kakak?” Ucapnya. Aku menghembuskan nafasku berat. Benar juga apa yang kak Ve bilang, aku sudah janji sama Ayah untuk menjaga kak Ve dan Ibu. Tidak etis rasanya kalau aku melanggar janji itu. Bagaimanapun aku adalah laki-laki yang selalu menepati janji.

“Baiklah baiklah, aku mengerti. Aku akan ikut bersamamu.” Ucapku lalu beranjak dari tempat tidur dan mengganti pakaianku. Baru juga aku membuka kaosku.

“Kido!!” Teriak kak Ve.

“Apa lagi?” Tanyaku kesal.

“Jangan ganti baju didepan kakakmu, sana kekamar ganti!!” Ucapnya sambil menutup wajah dengan tangannya.

“Cerewet sekali. Cuma ganti baju doang. Apa sama adik sendiri juga nafsu?” Ocehku lalu pergi kekamar ganti. Hari ini aku mengenakan kemeja dan jaket serta celana hitam, yah meski acaranya tidak terlalu formal tapi paling ngga aku harus berpakaian rapi disana. Hal yang menyebalkan yang lainnya disana nanti adalah susahnya untukku berkomunikasi. Karena aku tidak terlalu mengerti bahasa Inggris yang sering digunakan disini sehari-hari.

Kami berpamitan pada Ibu, lalu menunggu taksi yang lewat didepan apartemen. Kakakku mengenakan dress berwarna merah panjang yang membuatnya terlihat sangat anggun. Wajar saja jika nantinya banyak yang melirik kearah kak Ve karena penampilan yang cantik dan kalemnya. Taksi yang ditunggu tunggu akhirnya datang. Kami pun mulai menuju tempat yang dimaksud kak Ve.

“Siapa yang ulang tahun? Teman?” Tanyaku.

“Yah, teman baik.” Ucapnya tersenyum.

“Ohh iya mengenai tugas observasinya. Apa saja yang dilakukan sampai selama itu?” Tanyaku lagi.

“Tugas penelitiannya sudah selesai semester kemarin. Semester selanjutnya hanya melakukan persentasi dan evaluasi. Anggap saja kakak disini numpang kuliah 2 semester, karena memang kenyataannya kakak kuliah disini.” Jawabnya.

“Ohh begitu. Seperti pertukaran mahasiswa gitu?” Tanyaku lagi.

“Yah, bisa dibilang begitu. Hanya saja tidak ada mahasiswa disini yang ke Indonesia. Jadi ini bukan pertukaran, hanya belajar ditempat yang berbeda itu saja.” Jelasnya lagi.

“Lalu? Disini punya teman dekat?” Tanyaku.

“Banyaklah. Ya, meski tidak sebanyak di Indonesia tapi orang-orang disini juga ramah-ramah.” Ucapnya.

“Bukan, maksudku seseorang seperti Shinji. Apa disini kakak menemukannya?” Tanyaku lagi sambil mengangkat satu alisku. Kulihat pipinya sedikit memerah.

“Apaan sih.. jangan mulai bahas itu deh.. ganti topik ganti.” Elaknya. Aku hanya tersenyum jail.

“Hahahaha pipimu merah, kenapa? Kalau cinta bilang aja jangan malu-malu.” Ucapku menggodanya.

“Kido!!” Ucapnya sedikit teriak lalu memalingkan wajahnya. Aku cekikikan sendiri. Ternyata kak Ve punya pria idaman juga. Hanya saja mungkin aku sedikit kurang setuju kalau pria itu Shinji. Sepertinya dia orang yang mudah marah. Bertempramen tinggi, aku takut kalau suatu saat nanti kalau memang kak Ve dan Shinji menikah dan ada sedikit masalah. Kekerasan yang dia pilih untuk menyelesaikannya.

“Kak.” Ucapku.

“Apa?” Tanyanya.

“Menurut kakak. Shinji tuh orangnya seperti apa sih?” Tanyaku. Aku hanya ingin tau, seberapa jauh kakakku memandang Shinji dari keseluruhan penampilan dan etitutnya. Tentunya kakakku lebih tau akan hal itu karena mereka berada dikampus yang sama di Indonesia.

“Sudah kakak bilang, jangan bahas itu lagi.” Ucapnya.

“Tidak aku serius. Aku hanya ingin melihat penilaian kakak tentangnya. Apakah sama dengan penilaianku atau contras sangat berbeda.” Ucapku.

“Shinji? Dia orangnya baik.” Ucapnya.

“Ayolah jangan hanya baik. Itu adalah jawaban yang dipakai semua orang ketika ditanya tentang seseorang. Yang lebih spesifik. Bagaimana sikap, sifat dan karakternya.” Ucapku lagi.

“Aku tidak tau.” Ucap kak Ve.

“Tidak tau? Jangan mengatakan sesuatu yang tidak mungkin. Kau jauh lebih mengenalnya daripada aku kan? Dia bahkan sekampus denganmu. Mana mungkin kau tidak tau apa-apa tentangnya.” Ucapku kesal, yang benar saja. Kakak dan Shinji jelas satu kampus. Mustahil rasanya kalau kakak bilang tidak tau apa-apa tentang Shinji. Karena Shinji bilang padaku kalau dia sangat dekat dengan Kakakku, dia juga sempat menyatakan perasaannya pada kakakku dan menembaknya, tapi kakakku selalu saja menolaknya.

“Aku memang tidak tau. Kita memang satu kampus, tapi apa hanya karena itu aku harus tau semua sifatnya. Teman-temanku yang lain juga banyak yang dekat denganku. Tapi tidak semuanya aku tau mengenai sifat dan karakter mereka. Lagipula sepertinya Shinji itu  berbeda.” Ucap kakakku. Aku mengerenyitkan dahiku.

“Berbeda? Kenapa?” Tanyaku yang sangat penasaran.

“Dia orangnya misterius, bahkan ketika Aku bertanya pada teman dekatnya mengenai Shinji, jawaban yang kuterima hanyalah tidak tau dan tidak tau. Aku bahkan bingung dengan perasaanku sendiri. Aku ingin menerimanya, tapi bahkan aku tidak tau alasan kenapa aku harus menerimanya dikehidupanku. Aku tidak tau alasannya. Paling tidak mungkin hanya itu yang kubutuhkan untuk sedikit membuka hatiku untuknya.” Ucap kakakku.

“Bingung tentang alasan mengapa kau harus menerimannya?” Tanyaku lagi.

“Yah, kau tau kan. Aku tidak bisa begitu saja menerimanya. Harus ada alasannya dulu. Lagipula dari awal kan aku sudah bilang padamu kalau aku tidak akan pacaran dengan siapapun, aku hanya takut kehilangan pengawasanku padamu. Kau masih labil, emosimu juga masih tidak stabil. Aku hanya takut kau terperosok ke pergaulan yang salah. Paling tidak sebagai kakakmu, aku harus mengawasimu sampai kau benar-benar dewasa.” Ucapnya lirih yang benar-benar menyentuh hatiku. Tidak kusangka ternyata kak Ve berpikiran sejauh itu, dia peduli dengan kehidupanku, dia peduli dengan pergaulanku, dia peduli semua yang berkaitan tentangku. Kak Ve benar-benar kakak yang paling terbaik yang aku punya saat ini.

Aku tidak berbicara sedikitpun, sekali-kali aku menoleh kearahnya. Berat sekali kehidupannya pikirku. Mungkin dengan berlajar lebih dewasa kedepannya akan membantu meringankan beban kehidupan kak Ve. Tapi jujur, saat ini aku memang masih perlu pengawasannya.

“Terimakasih.” Ucapku. Kak ve menoleh ke arahku sambil memiringkan kepalanya.

“Jangan menangis gitu Kido.” Ucapnya.

“Aku tidak menangis asal kakak tau.” Ucapku dengan nada sedikit tinggi. Dia hanya tertawa.

“Ohh iya, aku belum menceritakan itu pada kakak.” Lanjutku.

“Menceritakan apa? Ohh yang waktu di telpon, benar juga. Apa apa sih?” Ucapnya dengan antusias. Aku mengangkat satu alisku.

“Nanti saja, sepertinya kita sudah sampai.” Ucapku sambil melihat keadaan sekitar. Kak Ve hanya memasang ekspresi cemberut, mungkin dia kesal padaku. Ya biarlah.

No comments:

Post a Comment