Pagi hari yang indah di Nevada kota
Las Vegas. Aku sudah bangun dan sedang menikmati udara segar diatas gedung
apartemen. Memang tidak terlalu segar karena udara disini sudah tercampur
dengan asap knalpot berbagai macam kendaraan. Tapi mau bagaimana lagi, nikmati
sajalah. Di suasana seperti ini aku jadi kepikiran Shani. Bagaimana keadaannya,
dimana dia tinggal sekarang, apa dia sedang tersenyum atau sedang bersedih. Ya
ampun, aku harap bisa bertemu dengannya lagi. Kudengar pintu yang menghubungkan
atap ini dengan lantai dibawahnya terbuka. Aku menoleh ternyata itu kak Ve. Ya
ampun, wajahnya masih tetap murung seperti kemarin malam. Dia berjalan lalu
berdiri disampingku.
“Masih
memikirkan kejadian kemarin malam?” Tanyaku yang membuka percakapan. Dia tidak
menjawab, hanya menghembuskan nafasnya lalu memajukan bibir kecilnya.
“Jangan
khawatir, Ayah itu kuat. Dia pasti baik-baik saja. Lagipula kalau memang si
pembunuh itu mengincar Ayah, justru aku malah kasihan sama si pembunuhnya.
Mereka tidak akan bertahan lama jika harus melawan Ayah. Percayalah, dia pasti
akan menepati janjinya.” Ucapku. Semoga bisa sedikit menenangkan perasaan kak
Ve.
“Iya,
semoga saja.” Ucapnya lalu berusaha tersenyum. Tentu saja aku tau senyumnya itu
tidaklah tulus seperti biasanya, biarlah. Mungkin butuh waktu untuknya agar
perasaan khawatirnya sedikit berkurang.
“Nahh
gitu. Kan kalo senyum jadinya cantik.” Godaku.
“Apaan
sih.” Ucapnya lalu meninju lenganku dengan pelan.
“Ohh
iya nanti malam kakak ada undangan pesta ulang tahun. Kamu ikut yah.” Ajaknya.
“Ulang
tahun? Siapa? Yang benar saja. Tidak.” Ucapku. Aku tidak mau ikut, disana
pastilah remaja-remaja Amerika yang trend dan masa kini. Kalau aku ikut.
Takutnya malah mempermalukan kakakku sendiri.
“Pokoknya
harus ikut titik. Kakak ga mau dengar alasan apapun.” Ucapnya lalu pergi
meninggalkanku. Kakak macam apa yang memaksa adiknya pergi ke tempat yang dia
tidak sukai, sepertinya itu hanya berlaku buat kak Ve seorang.
Kami tidak melakukan banyak kegiatan
hari ini. Karena memang tidak ada schedule selain menghadiri pesta ulang tahun
teman kakakku dikota ini.
“Kenapa
masih belum ganti baju?” Ucapnya yang sedang sibuk menata rambut panjangnya.
“Aku
kan sudah bilang tidak akan pergi. Kakak saja sendiri lagipula itu kan acara
ulang tahun teman kakak.” Ucapku sambil malas-malasan dikasur.
“Ihh
ngga. Pokoknya kamu harus ikut!! Cepetan ganti baju sana.!!” Ucapnya sambil
menarik tanganku. Aku menahannya.
“Kenapa
maksa sekali sih.” Ucapku kesal.
“Kamu
lupa sama janji kamu ke Ayah yang katanya siap ngejagain Aku dan Ibu saat Ayah
ngga ada disini? Buktikan dong!! Kalau nanti disana ada yang macam-macam sama
kakak siapa yang mau ngelindungin kakak?” Ucapnya. Aku menghembuskan nafasku
berat. Benar juga apa yang kak Ve bilang, aku sudah janji sama Ayah untuk
menjaga kak Ve dan Ibu. Tidak etis rasanya kalau aku melanggar janji itu.
Bagaimanapun aku adalah laki-laki yang selalu menepati janji.
“Baiklah
baiklah, aku mengerti. Aku akan ikut bersamamu.” Ucapku lalu beranjak dari
tempat tidur dan mengganti pakaianku. Baru juga aku membuka kaosku.
“Kido!!”
Teriak kak Ve.
“Apa
lagi?” Tanyaku kesal.
“Jangan
ganti baju didepan kakakmu, sana kekamar ganti!!” Ucapnya sambil menutup wajah
dengan tangannya.
“Cerewet
sekali. Cuma ganti baju doang. Apa sama adik sendiri juga nafsu?” Ocehku lalu
pergi kekamar ganti. Hari ini aku mengenakan kemeja dan jaket serta celana
hitam, yah meski acaranya tidak terlalu formal tapi paling ngga aku harus
berpakaian rapi disana. Hal yang menyebalkan yang lainnya disana nanti adalah
susahnya untukku berkomunikasi. Karena aku tidak terlalu mengerti bahasa
Inggris yang sering digunakan disini sehari-hari.
Kami berpamitan pada Ibu, lalu
menunggu taksi yang lewat didepan apartemen. Kakakku mengenakan dress berwarna
merah panjang yang membuatnya terlihat sangat anggun. Wajar saja jika nantinya
banyak yang melirik kearah kak Ve karena penampilan yang cantik dan kalemnya.
Taksi yang ditunggu tunggu akhirnya datang. Kami pun mulai menuju tempat yang
dimaksud kak Ve.
“Siapa
yang ulang tahun? Teman?” Tanyaku.
“Yah,
teman baik.” Ucapnya tersenyum.
“Ohh
iya mengenai tugas observasinya. Apa saja yang dilakukan sampai selama itu?”
Tanyaku lagi.
“Tugas
penelitiannya sudah selesai semester kemarin. Semester selanjutnya hanya
melakukan persentasi dan evaluasi. Anggap saja kakak disini numpang kuliah 2
semester, karena memang kenyataannya kakak kuliah disini.” Jawabnya.
“Ohh
begitu. Seperti pertukaran mahasiswa gitu?” Tanyaku lagi.
“Yah,
bisa dibilang begitu. Hanya saja tidak ada mahasiswa disini yang ke Indonesia.
Jadi ini bukan pertukaran, hanya belajar ditempat yang berbeda itu saja.”
Jelasnya lagi.
“Lalu?
Disini punya teman dekat?” Tanyaku.
“Banyaklah.
Ya, meski tidak sebanyak di Indonesia tapi orang-orang disini juga
ramah-ramah.” Ucapnya.
“Bukan,
maksudku seseorang seperti Shinji. Apa disini kakak menemukannya?” Tanyaku lagi
sambil mengangkat satu alisku. Kulihat pipinya sedikit memerah.
“Apaan
sih.. jangan mulai bahas itu deh.. ganti topik ganti.” Elaknya. Aku hanya
tersenyum jail.
“Hahahaha
pipimu merah, kenapa? Kalau cinta bilang aja jangan malu-malu.” Ucapku
menggodanya.
“Kido!!”
Ucapnya sedikit teriak lalu memalingkan wajahnya. Aku cekikikan sendiri.
Ternyata kak Ve punya pria idaman juga. Hanya saja mungkin aku sedikit kurang setuju
kalau pria itu Shinji. Sepertinya dia orang yang mudah marah. Bertempramen
tinggi, aku takut kalau suatu saat nanti kalau memang kak Ve dan Shinji menikah
dan ada sedikit masalah. Kekerasan yang dia pilih untuk menyelesaikannya.
“Kak.”
Ucapku.
“Apa?”
Tanyanya.
“Menurut
kakak. Shinji tuh orangnya seperti apa sih?” Tanyaku. Aku hanya ingin tau,
seberapa jauh kakakku memandang Shinji dari keseluruhan penampilan dan
etitutnya. Tentunya kakakku lebih tau akan hal itu karena mereka berada
dikampus yang sama di Indonesia.
“Sudah
kakak bilang, jangan bahas itu lagi.” Ucapnya.
“Tidak
aku serius. Aku hanya ingin melihat penilaian kakak tentangnya. Apakah sama
dengan penilaianku atau contras sangat berbeda.” Ucapku.
“Shinji?
Dia orangnya baik.” Ucapnya.
“Ayolah
jangan hanya baik. Itu adalah jawaban yang dipakai semua orang ketika ditanya
tentang seseorang. Yang lebih spesifik. Bagaimana sikap, sifat dan
karakternya.” Ucapku lagi.
“Aku
tidak tau.” Ucap kak Ve.
“Tidak
tau? Jangan mengatakan sesuatu yang tidak mungkin. Kau jauh lebih mengenalnya
daripada aku kan? Dia bahkan sekampus denganmu. Mana mungkin kau tidak tau
apa-apa tentangnya.” Ucapku kesal, yang benar saja. Kakak dan Shinji jelas satu
kampus. Mustahil rasanya kalau kakak bilang tidak tau apa-apa tentang Shinji.
Karena Shinji bilang padaku kalau dia sangat dekat dengan Kakakku, dia juga
sempat menyatakan perasaannya pada kakakku dan menembaknya, tapi kakakku selalu
saja menolaknya.
“Aku
memang tidak tau. Kita memang satu kampus, tapi apa hanya karena itu aku harus
tau semua sifatnya. Teman-temanku yang lain juga banyak yang dekat denganku.
Tapi tidak semuanya aku tau mengenai sifat dan karakter mereka. Lagipula
sepertinya Shinji itu berbeda.” Ucap
kakakku. Aku mengerenyitkan dahiku.
“Berbeda?
Kenapa?” Tanyaku yang sangat penasaran.
“Dia
orangnya misterius, bahkan ketika Aku bertanya pada teman dekatnya mengenai
Shinji, jawaban yang kuterima hanyalah tidak tau dan tidak tau. Aku bahkan
bingung dengan perasaanku sendiri. Aku ingin menerimanya, tapi bahkan aku tidak
tau alasan kenapa aku harus menerimanya dikehidupanku. Aku tidak tau alasannya.
Paling tidak mungkin hanya itu yang kubutuhkan untuk sedikit membuka hatiku
untuknya.” Ucap kakakku.
“Bingung
tentang alasan mengapa kau harus menerimannya?” Tanyaku lagi.
“Yah,
kau tau kan. Aku tidak bisa begitu saja menerimanya. Harus ada alasannya dulu.
Lagipula dari awal kan aku sudah bilang padamu kalau aku tidak akan pacaran
dengan siapapun, aku hanya takut kehilangan pengawasanku padamu. Kau masih
labil, emosimu juga masih tidak stabil. Aku hanya takut kau terperosok ke
pergaulan yang salah. Paling tidak sebagai kakakmu, aku harus mengawasimu
sampai kau benar-benar dewasa.” Ucapnya lirih yang benar-benar menyentuh
hatiku. Tidak kusangka ternyata kak Ve berpikiran sejauh itu, dia peduli dengan
kehidupanku, dia peduli dengan pergaulanku, dia peduli semua yang berkaitan
tentangku. Kak Ve benar-benar kakak yang paling terbaik yang aku punya saat
ini.
Aku tidak berbicara sedikitpun, sekali-kali aku menoleh kearahnya. Berat sekali kehidupannya pikirku. Mungkin dengan berlajar lebih dewasa kedepannya akan membantu meringankan beban kehidupan kak Ve. Tapi jujur, saat ini aku memang masih perlu pengawasannya.
Aku tidak berbicara sedikitpun, sekali-kali aku menoleh kearahnya. Berat sekali kehidupannya pikirku. Mungkin dengan berlajar lebih dewasa kedepannya akan membantu meringankan beban kehidupan kak Ve. Tapi jujur, saat ini aku memang masih perlu pengawasannya.
“Terimakasih.”
Ucapku. Kak ve menoleh ke arahku sambil memiringkan kepalanya.
“Jangan
menangis gitu Kido.” Ucapnya.
“Aku
tidak menangis asal kakak tau.” Ucapku dengan nada sedikit tinggi. Dia hanya
tertawa.
“Ohh
iya, aku belum menceritakan itu pada kakak.” Lanjutku.
“Menceritakan
apa? Ohh yang waktu di telpon, benar juga. Apa apa sih?” Ucapnya dengan
antusias. Aku mengangkat satu alisku.
“Nanti
saja, sepertinya kita sudah sampai.” Ucapku sambil melihat keadaan sekitar. Kak
Ve hanya memasang ekspresi cemberut, mungkin dia kesal padaku. Ya biarlah.
No comments:
Post a Comment