Friday, December 16, 2016

Langit Biru Bagian 22



Hari yang sedikit mendung mengawali hari terakhirku di negara ini. Ya, saat ini aku sudah lulus di SMA dan berencana melanjutkan kuliah ku di luar negeri. Mungkin tepatnya di Jerman.

Sudah 1,5 tahun sejak kejadian itu dan aku masih belum melupakannya. Bahkan selama itu juga aku enggan berbicara dengan Shani maupun Wahyu. Entah sikapku ini benar atau tidak, tapi Wahyu sendiri yang bilang seperti itu ditambah instingku bilang aku memang harus bersikap seperti ini.

Ibu dan Kakakku tentu bertanya-tanya padaku kenapa aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Bahkan ketika Shani mengunjungi rumahku, aku tetap mengurung diri dikamar. Pura-pura tidurlah atau cape, atau apapun alasannya yang bisa aku buat sendiri.

Aku berencana melanjutkan studiku di Jerman tentu bukan tanpa persiapan apapun. Kakakku bahkan terus menerus bertanya pertanyaan yang sama padaku ratusan kali. Saat ini aku sedang membereskan barang-barangku dikamar. Memisahkan mana yang akan aku bawa atau tidak.

“Kau yakin akan kuliah disana?” Tanya kak Ve yang tiba-tiba datang.

“Kakak sudah menanyakan hal itu ratusan kali. Dan jawabanku tetap sama.” Ucapku.

“Kau tau, kuliah diluar negeri itu berbeda dengan kuliah disini. Budayanya berbeda, peraturan, tata karma dan tentunya bahasa. Kau yakin bisa berkomunikasi dengan baik?” Ucapnya.

“Ya aku tau itu.” Ucapku.

“Pertanyaan macam apa itu? Kakak bilang kalau aku tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris? Yang benar saja.” Ucapku sedikit tertawa.

“But I’m seriously. Think again Kido.” Ucap kakakku.

“Sudahlah. Aku sudah memikirkannya ratusan bahkan ribuan kali. Aku harus melakukannya kak.” Ucapku.

“Apa ini karena hubungan Shani dan Wahyu?” Tanya kak Ve. Aku berhenti sejenak untuk membereskan barang-barangku.

“Tidak. Ini karena kemauanku sendiri.” Ucapku.

“Jangan berbohong Kido. Kakak tau setiap gerak gerikmu, setiap kebiasaanmu. Kakak tau itu.” Ucapnya.

“Lalu? Kalau memang kau tau segalanya tentangku. Apa aku harus melakukan semua yang kau katakan? Melakukan semua yang kau perintahkan? Itu Sama saja aku menjadi bonekamu.” Ucapku.

‘Plaaakkk’ tamparan keras tepat mengarah ke pipi kiriku.

Tanpa berbicara apapun lagi, kak Ve pergi setelah menamparku dengan keras. Aku mengusap pipi kiriku, tamparannya sama seperti Sinka. Lengkap sudah, dulu Sinka menamparku di pipi kanan, sekarang kak Ve melengkapinya dengan menamparku di pipi kiri.

Aku berbaring dikasur menatap langit-langit kamarku, memikirkan semua yang aku katakan tadi padanya. Mungkin memang aku lah yang keterlaluan karena sudah mengatakan hal yang tidak tidak pada seseorang yang sangat mengkhawatirkanku.

Aku memejamkan mataku, bayangan Shani muncul begitu saja. Bagaimana keadaan dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Sedang apa dia? Aku benar-benar merindukannya. 

Andai saja aku tidak mengenalnya. Mungkin perasaanku tidak akan sekacau ini sekarang. Pikirku. Aku mengambil bingkai foto Shani yang aku buat di laci meja belajarku. Foto yang menunjukan dia sedang tersenyum lepas. Diam-diam aku mengambil fotonya dulu, sewaktu kita masih dekat. Sampai sekarang dia tidak tau tentang hal ini.

HPku berbunyi. Ada panggilan masuk. Kulihat Ayah yang menelponku. Aku menekan tombol angkat lalu menempelkan handphoneku ke telinga kananku.

“Ya yah? Ada apa?” Tanyaku.

“Kau sudah bersiap-siap nak?” Tanya Ayahku.

“Tentu, hanya beberapa barang lagi aku masukan kedalam ranselku. Aku sudah siap.” Ucapku.

“Baguslah. Jam 10 kita bertemu di bandara, pesawatnya akan berangkat jam 11, Ayah sudah pesankan tiketnya.” Ucap Ayahku.

“Baiklah, terimakasih Yah.” Ucapku.

“Tentu.” Ucap Ayahku. Aku menutup telponnya, kembali bersiap siap. Aku putuskan untuk menyimpan foto Shani didalam kardus yang berisi barang-barang yang tidak terpakai, tapi tidak akan dibuang. Tentu saja sangat sulit untukku melupakannya.

Kulihat jam yang berada didinding kamarku. Waktu menunjukan pukul 8 lebih 12 menit. Aku membawa semua barang barangku ke ruang tengah.

Ohh sial. Aku melupakan sesuatu!! Aku kembali kekamar dan mengambil sebuah gelang yang bertuliskan nama seseorang lalu memakainya di lengan kananku, setelah itu aku langsung bergegas keruang tengah. Benda ini kudapat di hari ulang tahunku. Ada seseorang yang memberikannya dan dia bilang jangan pernah menghilangkan benda ini, karena ini akan menjadi hal yang penting nantinya. Aku bahkan tidak mengenal orang yang memberikan benda ini. Tapi aku merasa memang harus menjaganya.

“Sudah dapat telpon dari Ayahmu?” Tanya Ibuku.

“Sudah. Ayah bilang pesawatnya take jam 11. Tapi dia menyuruhku untuk datang ke bandara jam 10.” Ucapku.

“Tidak apa, kita ikuti saja apa yang Ayahmu katakan.” Ucap Ibuku.

“Kak Ve mana bu?” Tanyaku.

“Ada dikamarnya.” Jawab Ibuku.

“Begitu ya. Aku kesana sebentar.” Ucapku lalu pergi kekamar kak Ve.

Didepan pintu kamar kak Ve aku merasa gugup untuk mengetuknya. Tapi kuberanikan diri untuk hal ini.

‘tok tok tok’

Aku langsung membukanya perlahan dan masuk kekamarnya. Kulihat dia sedang duduk dimeja belajarnya dan sedang melihat beberapa album foto keluarga.

“Hai.. anu… soal yang tadi..” Ucapku gugup. Kak Ve tetap terpaku dengan posisinya. Dia bahkan tidak menoleh sedikitpun.

“Maaf aku terlalu kasar padamu.” Ucapku dengan penuh penyesalan.

“Dalam hal apapun kau lah orang yang selalu berada didekatku disaat aku sedang benar-benar dalam keadaan terpuruk. Mungkin jika saat itu kau tidak ada. Bisa saja aku melakukan hal yang tidak-tidak. Ummm.. sekali lagi maafkan perkataan bodohku.” Ucapku sambil membungkukan sedikit badanku lalu beranjak pergi.

“Dulu kau pernah bilang.” Ucapnya. Aku menghentikan langkahku.

“Waktu aku berangkat untuk tugas observasiku di Nevada, kau bilang padaku tidak suka perpisahan dengan cara sembunyi-sembunyi.” Ucapnya.

“Memang aku tidak menyukai cara itu.” Ucapku.

“Tapi, kau lihat sekarang? Aku justru lebih tersiksa, karena harus jauh darimu. Kau terang-terangan berkata akan kuliah di luar negeri. Sementara disini, aku pasti akan sangat kesepian.” Ucapnya dengan lirih sambil memegang erat album foto keluarga kami.

“Kak Ve.”

“Setelah sosok Ayah yang juga pergi ke luar negeri untuk masalah pekerjaan. Dan sekarang kamu satu-satunya laki-laki yang bisa melindungi Ibu dan Aku harus pergi juga ke luar negeri untuk kuliah. Lalu. Siapa yang akan menjaga dan melindungi kami selanjutnya?” Tanyanya dengan penuh emosional. Aku terdiam mendengar hal itu langsung dari bibir kecilnya.

Aku berjalan mendekatinya, melihat album foto yang dia lihat. Disitu ada foto aku, dia, ayah dan Ibu sedang menikmati liburan waktu di pantai. Waktu itu aku masih berusia 10 Tahun, sungguh menggemaskan. Aku tersenyum.

“Kau masih ingat dengan foto ini?” Tanyanya.

“Tentu.” Ucapku.

“Dulu kau berenang menggunakan ban yang disewa disana dan hampir terbawa arus ketengah laut. Kita bertiga kaget dan panik melihatnya, dan kau hanya menangis saja waktu itu. Untung ada nelayan yang menyelamatkanmu. Ekspresimu saat itu benar-benar sulit sekali dilupakan.” Ucapnya sambil tersenyum.

“Aku bahkan berfikir waktu itu akan ada hiu yang menyerangku dari dalam laut.” Ucapku.

“Ibu bahkan sempat nangis melihatmu.” Ucapnya.

“Dan karena peristiwa itu aku tidak diizinkan sama sekali untuk pergi kelaut lagi.” Ucapku.

“Tentu saja, setiap orang tua pasti akan melakukan hal yang sama.” Ucapnya.

Aku melihat jam, sudah pukul 8 lebih 42 menit. Saatnya aku harus pergi.

“Baiklah, aku harus bersiap.” Ucapku lalu berjalan meninggalkannya.

“I’m going to miss you so much.” Ucap Kak Ve.

“Me too.” Ucapku sambil berjalan.

No comments:

Post a Comment