Hari
yang sedikit mendung mengawali hari terakhirku di negara ini. Ya, saat ini aku
sudah lulus di SMA dan berencana melanjutkan kuliah ku di luar negeri. Mungkin
tepatnya di Jerman.
Sudah 1,5 tahun sejak kejadian itu dan aku masih belum melupakannya. Bahkan selama itu juga aku enggan berbicara dengan Shani maupun Wahyu. Entah sikapku ini benar atau tidak, tapi Wahyu sendiri yang bilang seperti itu ditambah instingku bilang aku memang harus bersikap seperti ini.
Ibu
dan Kakakku tentu bertanya-tanya padaku kenapa aku tidak pernah bertemu dengan
mereka. Bahkan ketika Shani mengunjungi rumahku, aku tetap mengurung diri
dikamar. Pura-pura tidurlah atau cape, atau apapun alasannya yang bisa aku buat
sendiri.
Aku berencana melanjutkan studiku di Jerman tentu bukan tanpa persiapan apapun. Kakakku bahkan terus menerus bertanya pertanyaan yang sama padaku ratusan kali. Saat ini aku sedang membereskan barang-barangku dikamar. Memisahkan mana yang akan aku bawa atau tidak.
“Kau yakin akan kuliah disana?” Tanya kak Ve
yang tiba-tiba datang.
“Kakak sudah menanyakan hal itu ratusan kali.
Dan jawabanku tetap sama.” Ucapku.
“Kau tau, kuliah diluar negeri itu berbeda
dengan kuliah disini. Budayanya berbeda, peraturan, tata karma dan tentunya
bahasa. Kau yakin bisa berkomunikasi dengan baik?” Ucapnya.
“Ya aku tau itu.” Ucapku.
“Pertanyaan macam apa itu? Kakak bilang kalau
aku tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris? Yang benar saja.”
Ucapku sedikit tertawa.
“But I’m seriously. Think again Kido.” Ucap
kakakku.
“Sudahlah. Aku sudah memikirkannya ratusan
bahkan ribuan kali. Aku harus melakukannya kak.” Ucapku.
“Apa ini karena hubungan Shani dan Wahyu?”
Tanya kak Ve. Aku berhenti sejenak untuk membereskan barang-barangku.
“Tidak. Ini karena kemauanku sendiri.” Ucapku.
“Jangan berbohong Kido. Kakak tau setiap gerak
gerikmu, setiap kebiasaanmu. Kakak tau itu.” Ucapnya.
“Lalu? Kalau memang kau tau segalanya
tentangku. Apa aku harus melakukan semua yang kau katakan? Melakukan semua yang
kau perintahkan? Itu Sama saja aku menjadi bonekamu.” Ucapku.
‘Plaaakkk’ tamparan keras tepat mengarah ke
pipi kiriku.
Tanpa
berbicara apapun lagi, kak Ve pergi setelah menamparku dengan keras. Aku
mengusap pipi kiriku, tamparannya sama seperti Sinka. Lengkap sudah, dulu Sinka
menamparku di pipi kanan, sekarang kak Ve melengkapinya dengan menamparku di
pipi kiri.
Aku
berbaring dikasur menatap langit-langit kamarku, memikirkan semua yang aku
katakan tadi padanya. Mungkin memang aku lah yang keterlaluan karena sudah
mengatakan hal yang tidak tidak pada seseorang yang sangat mengkhawatirkanku.
Aku
memejamkan mataku, bayangan Shani muncul begitu saja. Bagaimana keadaan dia
sekarang? Apa dia baik-baik saja? Sedang apa dia? Aku benar-benar
merindukannya.
Andai saja aku tidak mengenalnya. Mungkin
perasaanku tidak akan sekacau ini sekarang. Pikirku. Aku mengambil bingkai foto
Shani yang aku buat di laci meja belajarku. Foto yang menunjukan dia sedang
tersenyum lepas. Diam-diam aku mengambil fotonya dulu, sewaktu kita masih
dekat. Sampai sekarang dia tidak tau tentang hal ini.
HPku berbunyi. Ada panggilan masuk. Kulihat Ayah yang menelponku. Aku menekan tombol angkat lalu menempelkan handphoneku ke telinga kananku.
HPku berbunyi. Ada panggilan masuk. Kulihat Ayah yang menelponku. Aku menekan tombol angkat lalu menempelkan handphoneku ke telinga kananku.
“Ya yah? Ada apa?” Tanyaku.
“Kau sudah bersiap-siap nak?” Tanya Ayahku.
“Tentu, hanya beberapa barang lagi aku masukan
kedalam ranselku. Aku sudah siap.” Ucapku.
“Baguslah. Jam 10 kita bertemu di bandara,
pesawatnya akan berangkat jam 11, Ayah sudah pesankan tiketnya.” Ucap Ayahku.
“Baiklah, terimakasih Yah.” Ucapku.
“Tentu.” Ucap Ayahku. Aku menutup telponnya,
kembali bersiap siap. Aku putuskan untuk menyimpan foto Shani didalam kardus
yang berisi barang-barang yang tidak terpakai, tapi tidak akan dibuang. Tentu
saja sangat sulit untukku melupakannya.
Kulihat
jam yang berada didinding kamarku. Waktu menunjukan pukul 8 lebih 12 menit. Aku
membawa semua barang barangku ke ruang tengah.
Ohh
sial. Aku melupakan sesuatu!! Aku kembali kekamar dan mengambil sebuah gelang
yang bertuliskan nama seseorang lalu memakainya di lengan kananku, setelah itu
aku langsung bergegas keruang tengah. Benda ini kudapat di hari ulang tahunku.
Ada seseorang yang memberikannya dan dia bilang jangan pernah menghilangkan
benda ini, karena ini akan menjadi hal yang penting nantinya. Aku bahkan tidak
mengenal orang yang memberikan benda ini. Tapi aku merasa memang harus
menjaganya.
“Sudah dapat telpon dari Ayahmu?” Tanya Ibuku.
“Sudah. Ayah bilang pesawatnya take jam 11.
Tapi dia menyuruhku untuk datang ke bandara jam 10.” Ucapku.
“Tidak apa, kita ikuti saja apa yang Ayahmu
katakan.” Ucap Ibuku.
“Kak Ve mana bu?” Tanyaku.
“Ada dikamarnya.” Jawab Ibuku.
“Begitu ya. Aku kesana sebentar.” Ucapku lalu
pergi kekamar kak Ve.
Didepan
pintu kamar kak Ve aku merasa gugup untuk mengetuknya. Tapi kuberanikan diri
untuk hal ini.
‘tok tok tok’
Aku
langsung membukanya perlahan dan masuk kekamarnya. Kulihat dia sedang duduk
dimeja belajarnya dan sedang melihat beberapa album foto keluarga.
“Hai.. anu… soal yang tadi..” Ucapku gugup.
Kak Ve tetap terpaku dengan posisinya. Dia bahkan tidak menoleh sedikitpun.
“Maaf aku terlalu kasar padamu.” Ucapku dengan
penuh penyesalan.
“Dalam hal apapun kau lah orang yang selalu
berada didekatku disaat aku sedang benar-benar dalam keadaan terpuruk. Mungkin
jika saat itu kau tidak ada. Bisa saja aku melakukan hal yang tidak-tidak.
Ummm.. sekali lagi maafkan perkataan bodohku.” Ucapku sambil membungkukan
sedikit badanku lalu beranjak pergi.
“Dulu kau pernah bilang.” Ucapnya. Aku
menghentikan langkahku.
“Waktu aku berangkat untuk tugas observasiku
di Nevada, kau bilang padaku tidak suka perpisahan dengan cara
sembunyi-sembunyi.” Ucapnya.
“Memang aku tidak menyukai cara itu.” Ucapku.
“Tapi, kau lihat sekarang? Aku justru lebih
tersiksa, karena harus jauh darimu. Kau terang-terangan berkata akan kuliah di
luar negeri. Sementara disini, aku pasti akan sangat kesepian.” Ucapnya dengan
lirih sambil memegang erat album foto keluarga kami.
“Kak Ve.”
“Setelah sosok Ayah yang juga pergi ke luar
negeri untuk masalah pekerjaan. Dan sekarang kamu satu-satunya laki-laki yang
bisa melindungi Ibu dan Aku harus pergi juga ke luar negeri untuk kuliah. Lalu.
Siapa yang akan menjaga dan melindungi kami selanjutnya?” Tanyanya dengan penuh
emosional. Aku terdiam mendengar hal itu langsung dari bibir kecilnya.
Aku berjalan mendekatinya, melihat album foto yang dia lihat. Disitu ada foto aku, dia, ayah dan Ibu sedang menikmati liburan waktu di pantai. Waktu itu aku masih berusia 10 Tahun, sungguh menggemaskan. Aku tersenyum.
“Kau masih ingat dengan foto ini?” Tanyanya.
“Tentu.” Ucapku.
“Dulu kau berenang menggunakan ban yang disewa
disana dan hampir terbawa arus ketengah laut. Kita bertiga kaget dan panik
melihatnya, dan kau hanya menangis saja waktu itu. Untung ada nelayan yang
menyelamatkanmu. Ekspresimu saat itu benar-benar sulit sekali dilupakan.”
Ucapnya sambil tersenyum.
“Aku bahkan berfikir waktu itu akan ada hiu
yang menyerangku dari dalam laut.” Ucapku.
“Ibu bahkan sempat nangis melihatmu.” Ucapnya.
“Dan karena peristiwa itu aku tidak diizinkan
sama sekali untuk pergi kelaut lagi.” Ucapku.
“Tentu saja, setiap orang tua pasti akan
melakukan hal yang sama.” Ucapnya.
Aku
melihat jam, sudah pukul 8 lebih 42 menit. Saatnya aku harus pergi.
“Baiklah, aku harus bersiap.” Ucapku lalu
berjalan meninggalkannya.
“I’m going to miss you so much.” Ucap Kak Ve.
“Me too.” Ucapku sambil berjalan.
No comments:
Post a Comment