Sunday, December 11, 2016

Langit Biru Bagian 20



Berbicara banyak dengan Raja yang akhirnya aku bisa mengetahui bagaimana awal mula Shinji menyukai kak Ve dan terus ditolak lalu akhirnya berteman benar-benar mengasyikan. Juga mengetahui kalau ternyata Raja juga menyukai kak Ve, benar benar mirip dengan kami bertiga. Yah aku, Wahyu dan Shani. Mereka seperti bayangan kami. Meski kupikir jelas sangat berbeda dengan kasus kami.
   
Aku terus berjalan mencari kak Ve dan Shinji. Dimana mereka? Apa mereka ada di aula atau sedang dikantin? Mungkin aku akan mengecek kantin terlebih dulu. Sesampainya disana ternyata memang benar, aku melihat mereka berdua disana. Sedang duduk berduaan sambil menikmati makanannya. Mereka bahkan menjadi pusat perhatian hampir semua siswa yang sedang berada dikantin. Menyebalkan.

“Mereka sangat cocok yah.”

“Iya, lihatlah dia begitu tampan.”

“Kakak itu juga sangat cantik.”

Sambil berjalan kearah mereka, itulah sebagian obrolan yang aku dengar dari siswa dan siswi disini. Kak Ve sudah melihatku.

“Kido!! Akhirnya kakak menemukanmu. Sini!!” Ucap Kak Ve sambil melambaikan tangannya.

“Iya iya.” Ucapku. Kulihat Shinji juga menoleh kearahku. Entah kenapa aku malah setuju jika kak Ve menjalin hubungan dengan Raja daripada orang ini!! Kenapa juga dia. Aku duduk disebelah kakakku tepat didepanku Shinji sedang menatapku dengan tatapan yang sama seperti saat di cafĂ© waktu itu bersama Wahyu. Kenapa hah? Mau cari masalah lagi? Batinku.

“Nih minum dulu.” Ucap Kak Ve sambil menyodorkan minumannya padaku.

“Yo terimakasih.” Ucapku lalu meneguknya.

“Jadi kalian sudah saling kenal kan?” Tanya kak Ve. Shinji terlihat bingung, sepertinya dia tidak tau kalau aku pernah bercerita pada Kak Ve pernah bertemu dengannya tempo hari. Aku meletakan minuman didepanku.

“Tentu. Kita bahkan sangat akrab benarkan?” Godaku pada Shinji. Dia terlihat kesal padaku.

“Ya.” Ucapnya.

“Lihat, jangan khawatir. Aku dan dia baik-baik saja kok.” Ucapku.

“Hey, sopanlah sedikit memanggil orang yang lebih tua darimu Kido!!” Ucap Kak Ve sedikit keras.

“Haaaahh cerewet sekali. Terserah aku mau manggil dia apa. Kakak tidak  berhak melarangku.” Ucapku dengan sedikit emosi kemudian berdiri dari kursi.

“Kau mau kemana?” Tanya kak Ve.

“Pulang.” Ucapku.

“Pulang? Kau bercanda? Acara sekolah ini kan belum selesai. Kenapa pulang?” Tanya Kak Ve. Ahh benar juga, aku harus mengikuti upacara penutupan dulu sebelum pulang. Siaalll, membosankan sekali.

“Hmm.. Kau benar, kalau begitu aku mau pergi kekelas.” Ucapku lalu berjalan pergi. Kak Ve dengan cepat memegang tanganku.

“Aku tau ada yang tidak beres denganmu akhir-akhir ini. Kau harus cerita padaku nanti.” Ucap Kak Ve. Aku tersenyum, yah memang tidak ada gunanya merahasiakan sesuatu darinya. Cepat atau lambat dia pasti akan menyadarinya juga. Benar-benar seperti seorang penyihir.

“Aku tau. Aku pasti akan menceritakan semuanya. Untuk sekarang hanya ini yang bisa kulakukan. Maaf.” Ucapku lalu melepaskan genggaman tangannya dan lanjut berjalan.

Semua keputusan ada ditanganku. Apa yang akan aku lakukan selanjutnya akan berdampak besar untuk kehidupanku nantinya. Ahh sial.. Semuanya benar-benar membuatku tidak bisa berfikir dengan benar. Mungkin dengan menenangkan diri dikelas akan membantu mendinginkan isi kepalaku. Terlalu banyak hal yang belum pasti yang sudah aku anggap pasti.

Suasana dikelas sangat sepi. Tentu saja, semua orang pergi untuk menonton acara demi acara yang diselenggarakan pihak OSIS. Ditambah sekarang pertandingan final tiap cabang olahraga. Semua orang pasti pergi ke lapangan olahraga ataupun gedung olahraga. Malangnya, disaat semua orang menikmati acara ini. Yang kulakukan hanya diam dan merenung. Menyebalkan sekali.

“Ngapain lo disini?” Ucap seseorang dibalik pintu. Dia?

“Haa? Kau sendiri sedang apa dikelasku? Dasar wanita aneh.” Ucapku padanya.

“Ahh sudahlah. Gue lagi ngga mood berdebat sama lo.” Ucapnya. Ya dia Sinka.

“Apa-apaan dengan sikap itu? Menyebalkan.” Ucapku. Sinka lalu berjalan kesalah satu kursi di dekat pintu lalu duduk disitu. Sedangkan aku duduk dikursi paling belakang dikelas itu.

Tidak ada percakapan apapun diantara kami. Aku sibuk dengan ballpoint baru yang kutemukan didalam kelas, sedangkan Sinka sepertinya sedang memainkan rambut panjangnya yang tergerai.

Beberapa selang kemudian ada seorang anak laki-laki yang perlahan-lahan melihat seisi kelas. Bukan anak SD, menurutku dia anak SMP. Dia memang tidak memakai seragam, tapi karena dilihat dari postur tubuhnya. Dia berjalan menghampiri Sinka.

“Kak Sinka. Syukurlah aku menemukan kakak disini.” Ucap anak kecil itu. Kakak? Apa dia adiknya Sinka? Tapi kulihat sepertinya Sinka tidak menyukai keberadaannya. Itu terlihat jelas dari pancaran wajahnya yang mengisyaratkan ketidaksukaan pada anak itu.

“Ngapain kamu kesini? Sana kembali ke ayahmu.” Ucapnya dengan nada tidak suka.

“Ian ga tau dimana ayah. Tadi kita sempat terpisah.” Ucap anak kecil itu. Sinka terlihat kesal. Ian? Seperti pernah mendengar namanya, tapi entahlah.

“Yaudah cari sendiri kenapa sih!!” Ucap Sinka dengan nada keras. Oi oi, dia terlalu keras pada anak itu. Aku berdiri dan berjalan menghampiri mereka berdua.

“Ya aku ga tau dimana ayah kak. Kakak temenin dong.” Ajaknya. Kulihat Sinka benar-benar marah pada anak itu. Kenapa bisa segitu marahnya pada anak SMP? Apalagi dia menyebutnya kakak pada Sinka. Yang ada dipikiranku adalah dia adiknya Sinka.

“Lo itu ya ganggu gue aja. Udah cepetan sana pergi!!” Bentak Sinka. Menakutkan. Kulihat anak tadi kaget dibentak oleh Sinka. Dia seperti ingin menangis, tapi ditahan. Ian tetap pada posisinya. Sedangkan Sinka yang semakin kesal padanya menunjukan gestur mau melakukan tamparan pada Ian. Ian memejamkan matanya sambil terlihat sangat ketakutan. Sebelum berhasil mengenai Ian, aku berhasil menghentikannya.

“Kau terlalu berlebihan wanita aneh.” Ucapku pada Sinka sambil memegang tangannya. Dengan kasar dia memberontak melepaskan genggaman tanganku.

“Berisik lo. Bukan urusan lo juga kan” Ucapnya dengan keras.

“Kakak macam apa kau ini? Sial!” Ucapku. Ian lalu pergi meninggalkan kami sambil berlari entah kemana.

“Lihat. Kau bahkan terlalu keras padanya. Aku tidak peduli dengan hubungan kalian. Tapi terlalu kasar pada seorang anak smp itu sangat keterlaluan.” Ucapku sambil berjalan meninggalkannya.

Aku mencari anak itu ke setiap sudut sekolah, tapi tidak ditemukan. Aku memutuskan mencarinya ke setiap stand yang sedang dibangun disekitar lapangan sekolah. Aku menghentikan langkahku. Kulihat anak itu sedang memeluk Shani. Wahyu juga terlihat disampingnya. Syukurlah, tapi ada hubungan apa Ian dengan Shani? Tunggu!! Ian? Maksudnya Ian adiknya Shani? Kakeknya Shani juga sempat bercerita mengenainya. Yah, tidak salah lagi.

Aku memutuskan untuk kembali kekelas. Karena kupikir masalahnya sudah selesai, Ian juga bersama dengan Shani dan Wahyu. Shani dan Wahyu!! Memikirkannya saja membuatku kesal. Sesampainya dikelas kulihat Sinka masih berada disini, aku duduk ditempat yang tidak jauh darinya.

“Katakan padaku. Apa kau kakaknya Ian?” Tanyaku. Kulihat dia sangat kesal karena aku masih membahas Ian didepannya, tapi aku tidak peduli. Aku harus tau kebenarannya.

“Lo itu kenapa sih? Ganggu orang lagi santai aja tau ngga.” Ucapnya.

“Aku tidak peduli. Katakan padaku, kau siapanya Ian? Kenapa dia memanggilmu kakak?” Tanyaku.

“Bukan urusan lo.” Ucapnya dengan nada keras lalu beranjak pergi.

“Haahh dasar wanita.” Gerutuku.

Sambil duduk menyender dan menutup wajahku dengan sebuah topi, tanpa melakukan apapun aku masih tetap berada dikelas, menunggu upacara penutupan segera dimulai. Waktu terasa sangat lama sekali. Kudengar ada suara langkah kaki masuk kekelas. Siapa?

“Sedang apa kau disini Kido?” Tanya orang itu. Aku melepaskan topi yang menghalangi wajahku.

“Wahyu. Kau rupanya.” Ucapku lalu memperbaiki posisi dudukku.

“Sedang apa kau sendirian dikelas?” Tanyanya lalu duduk dimeja didekat tempat dudukku

“Aku hanya sedang menunggu upacara penutupan dimulai.” Ucapku.

“Setauku itu akan dilakukan sebentar lagi.” Ucapnya.

“Begitu. Syukurlah.” Ucapku.

“Kido.” Ucapnya. Aku mengrenyitkan dahiku.

“Kenapa?” Tanyaku.

“Sudahlah jujur saja pada dirimu sendiri.” Ucapnya.

“Apa maksudmu?” Tanyaku.

“Kau menyukai Shani kan?” Tanyanya. Pertanyaan yang sama.

“Itu..” Ucapku ragu.

“Kenapa? Tidak usah ragu mengakuinya.” Ucapnya.

“Aku hanya bingung harus bersikap seperti apa.” Ucapku.

“Jika memang iya, maka pertemanan kita akan berakhir ketika Shani memilih salah satu diantara kita.” Ucapnya. Aku terdiam sejenak.

“Ha? Jangan memutuskan seenaknya. Hanya karena seorang wanita, kita harus mengakhiri persahabatan ini?” Tanyaku dengan sedikit emosi.

“Tentu saja.” Ucapnya.

“Kenapa harus seperti itu?” Tanyaku.

“Coba pikirkan. Apa kau pikir seseorang akan bisa hidup tenang bersama orang yang sama sama menyukai wanita yang sama? Jika nantinya Shani memilihmu. Aku lebih baik menjauh dari kalian dan berusaha untuk tidak menyentuh dunia yang sama lagi dengan kalian. Itulah yang aku pikirkan.” Ucapnya. Apa yang dikatakan Wahyu masuk akal. Tapi. . . . .

“Aku tidak tau keputusanmu nantinya jika Shani lebih memilihku. Namun aku harap, kau juga akan melakukan hal yang sama sepertiku.” Lanjutnya.

“Apa hanya ini satu satunya jalan? Apa tidak ada cara lain lagi?” Tanyaku.

“Jujur, kadang aku juga memikirkannya. Tapi semakin aku memikirkannya, yang ada hanya rasa kesal dan putus asa yang aku dapat. Aku mulai berfikir, tidak semuanya didunia ini bisa kita miliki. Kadang kita harus memilih satu hal dan mengorbankan hal lainnya. Karena jika kita bersikeras ingin memiliki semuanya, itu hanya akan membuat kita gagal dalam mendapatkan hal apapun.” Ucapnya. Aku merenungkannya, apa memang harus seperti ini akhirnya? Setelah satu tahun kita berteman. Lalu tiba-tiba terputus saat seseorang yang sama-sama kita sukai memilih salah satu diantara kita. Entah itu aku ataupun Wahyu. Tapi aku juga merasakan hal yang sama seperti Wahyu jika berada diposisi yang tidak terpilih.

“Jika nanti Shani memilihmu. Aku akan memikirkannya sendiri. Tindakan apa yang akan aku lakukan selanjutnya.” Ucapku. Wahyu tersenyum lalu melihat kearah jendela.

“Kau tau. Tujuanku sebenarnya bukan untuk memutuskan pertemanan kita, hanya saja sebagai seseorang yang kalah. Tentunya butuh waktu untuk menyembuhkan luka. Apalagi luka soal asmara. Jadi aku hanya berfikir kesana. Jika luka itu benar benar sudah sembuh, aku pasti akan menemuimu lagi.” Ucapnya. Aku melihat kearah yang dilihat Wahyu.

“Begitu.” Ucapku.

“Tapi itu jika aku yang kalah.” Ucapnya.

“Kau tau, baru kali ini aku bisa menyukai seorang wanita dengan sangat serius seperti ini.” Ucapku.

“Aku juga merasakan hal yang sama. Dilihat dari sudut manapun dia sangat cantik.” Ucapnya. Yah, yang dilihat olehku dan Wahyu adalah Shani. Dia sedang berada didepan kelas kami sedang mengobrol dengan adiknya Ian. Sesekali dia tersenyum, tertawa dan cemberut. Entah apa yang sedang dia bicarakan dengan adiknya itu. Tapi sungguh. Melihatnya seperti itu membuatku tersenyum sendiri.

No comments:

Post a Comment