Berbicara
banyak dengan Raja yang akhirnya aku bisa mengetahui bagaimana awal mula Shinji
menyukai kak Ve dan terus ditolak lalu akhirnya berteman benar-benar
mengasyikan. Juga mengetahui kalau ternyata Raja juga menyukai kak Ve, benar
benar mirip dengan kami bertiga. Yah aku, Wahyu dan Shani. Mereka seperti
bayangan kami. Meski kupikir jelas sangat berbeda dengan kasus kami.
Aku
terus berjalan mencari kak Ve dan Shinji. Dimana mereka? Apa mereka ada di aula
atau sedang dikantin? Mungkin aku akan mengecek kantin terlebih dulu.
Sesampainya disana ternyata memang benar, aku melihat mereka berdua disana.
Sedang duduk berduaan sambil menikmati makanannya. Mereka bahkan menjadi pusat
perhatian hampir semua siswa yang sedang berada dikantin. Menyebalkan.
“Mereka sangat cocok yah.”
“Iya, lihatlah dia begitu tampan.”
“Kakak itu juga sangat cantik.”
Sambil
berjalan kearah mereka, itulah sebagian obrolan yang aku dengar dari siswa dan
siswi disini. Kak Ve sudah melihatku.
“Kido!! Akhirnya kakak menemukanmu. Sini!!”
Ucap Kak Ve sambil melambaikan tangannya.
“Iya iya.” Ucapku. Kulihat Shinji juga menoleh
kearahku. Entah kenapa aku malah setuju jika kak Ve menjalin hubungan dengan
Raja daripada orang ini!! Kenapa juga dia. Aku duduk disebelah kakakku tepat
didepanku Shinji sedang menatapku dengan tatapan yang sama seperti saat di café
waktu itu bersama Wahyu. Kenapa hah? Mau cari masalah lagi? Batinku.
“Nih minum dulu.” Ucap Kak Ve sambil
menyodorkan minumannya padaku.
“Yo terimakasih.” Ucapku lalu meneguknya.
“Jadi kalian sudah saling kenal kan?” Tanya
kak Ve. Shinji terlihat bingung, sepertinya dia tidak tau kalau aku pernah
bercerita pada Kak Ve pernah bertemu dengannya tempo hari. Aku meletakan
minuman didepanku.
“Tentu. Kita bahkan sangat akrab benarkan?”
Godaku pada Shinji. Dia terlihat kesal padaku.
“Ya.” Ucapnya.
“Lihat, jangan khawatir. Aku dan dia baik-baik
saja kok.” Ucapku.
“Hey, sopanlah sedikit memanggil orang yang
lebih tua darimu Kido!!” Ucap Kak Ve sedikit keras.
“Haaaahh cerewet sekali. Terserah aku mau
manggil dia apa. Kakak tidak berhak
melarangku.” Ucapku dengan sedikit emosi kemudian berdiri dari kursi.
“Kau mau kemana?” Tanya kak Ve.
“Pulang.” Ucapku.
“Pulang? Kau bercanda? Acara sekolah ini kan
belum selesai. Kenapa pulang?” Tanya Kak Ve. Ahh benar juga, aku harus
mengikuti upacara penutupan dulu sebelum pulang. Siaalll, membosankan sekali.
“Hmm.. Kau benar, kalau begitu aku mau pergi
kekelas.” Ucapku lalu berjalan pergi. Kak Ve dengan cepat memegang tanganku.
“Aku tau ada yang tidak beres denganmu
akhir-akhir ini. Kau harus cerita padaku nanti.” Ucap Kak Ve. Aku tersenyum,
yah memang tidak ada gunanya merahasiakan sesuatu darinya. Cepat atau lambat
dia pasti akan menyadarinya juga. Benar-benar seperti seorang penyihir.
“Aku tau. Aku pasti akan menceritakan
semuanya. Untuk sekarang hanya ini yang bisa kulakukan. Maaf.” Ucapku lalu
melepaskan genggaman tangannya dan lanjut berjalan.
Semua
keputusan ada ditanganku. Apa yang akan aku lakukan selanjutnya akan berdampak
besar untuk kehidupanku nantinya. Ahh sial.. Semuanya benar-benar membuatku
tidak bisa berfikir dengan benar. Mungkin dengan menenangkan diri dikelas akan
membantu mendinginkan isi kepalaku. Terlalu banyak hal yang belum pasti yang
sudah aku anggap pasti.
Suasana
dikelas sangat sepi. Tentu saja, semua orang pergi untuk menonton acara demi
acara yang diselenggarakan pihak OSIS. Ditambah sekarang pertandingan final
tiap cabang olahraga. Semua orang pasti pergi ke lapangan olahraga ataupun
gedung olahraga. Malangnya, disaat semua orang menikmati acara ini. Yang
kulakukan hanya diam dan merenung. Menyebalkan sekali.
“Ngapain lo disini?” Ucap seseorang dibalik
pintu. Dia?
“Haa? Kau sendiri sedang apa dikelasku? Dasar
wanita aneh.” Ucapku padanya.
“Ahh sudahlah. Gue lagi ngga mood berdebat
sama lo.” Ucapnya. Ya dia Sinka.
“Apa-apaan dengan sikap itu? Menyebalkan.”
Ucapku. Sinka lalu berjalan kesalah satu kursi di dekat pintu lalu duduk
disitu. Sedangkan aku duduk dikursi paling belakang dikelas itu.
Tidak
ada percakapan apapun diantara kami. Aku sibuk dengan ballpoint baru yang
kutemukan didalam kelas, sedangkan Sinka sepertinya sedang memainkan rambut
panjangnya yang tergerai.
Beberapa
selang kemudian ada seorang anak laki-laki yang perlahan-lahan melihat seisi
kelas. Bukan anak SD, menurutku dia anak SMP. Dia memang tidak memakai seragam,
tapi karena dilihat dari postur tubuhnya. Dia berjalan menghampiri Sinka.
“Kak Sinka. Syukurlah aku menemukan kakak
disini.” Ucap anak kecil itu. Kakak? Apa dia adiknya Sinka? Tapi kulihat
sepertinya Sinka tidak menyukai keberadaannya. Itu terlihat jelas dari pancaran
wajahnya yang mengisyaratkan ketidaksukaan pada anak itu.
“Ngapain kamu kesini? Sana kembali ke ayahmu.”
Ucapnya dengan nada tidak suka.
“Ian ga tau dimana ayah. Tadi kita sempat
terpisah.” Ucap anak kecil itu. Sinka terlihat kesal. Ian? Seperti pernah
mendengar namanya, tapi entahlah.
“Yaudah cari sendiri kenapa sih!!” Ucap Sinka
dengan nada keras. Oi oi, dia terlalu keras pada anak itu. Aku berdiri dan berjalan
menghampiri mereka berdua.
“Ya aku ga tau dimana ayah kak. Kakak temenin
dong.” Ajaknya. Kulihat Sinka benar-benar marah pada anak itu. Kenapa bisa
segitu marahnya pada anak SMP? Apalagi dia menyebutnya kakak pada Sinka. Yang
ada dipikiranku adalah dia adiknya Sinka.
“Lo itu ya ganggu gue aja. Udah cepetan sana
pergi!!” Bentak Sinka. Menakutkan. Kulihat anak tadi kaget dibentak oleh Sinka.
Dia seperti ingin menangis, tapi ditahan. Ian tetap pada posisinya. Sedangkan
Sinka yang semakin kesal padanya menunjukan gestur mau melakukan tamparan pada
Ian. Ian memejamkan matanya sambil terlihat sangat ketakutan. Sebelum berhasil
mengenai Ian, aku berhasil menghentikannya.
“Kau terlalu berlebihan wanita aneh.” Ucapku
pada Sinka sambil memegang tangannya. Dengan kasar dia memberontak melepaskan
genggaman tanganku.
“Berisik lo. Bukan urusan lo juga kan” Ucapnya
dengan keras.
“Kakak macam apa kau ini? Sial!” Ucapku. Ian
lalu pergi meninggalkan kami sambil berlari entah kemana.
“Lihat. Kau bahkan terlalu keras padanya. Aku
tidak peduli dengan hubungan kalian. Tapi terlalu kasar pada seorang anak smp
itu sangat keterlaluan.” Ucapku sambil berjalan meninggalkannya.
Aku
mencari anak itu ke setiap sudut sekolah, tapi tidak ditemukan. Aku memutuskan
mencarinya ke setiap stand yang sedang dibangun disekitar lapangan sekolah. Aku
menghentikan langkahku. Kulihat anak itu sedang memeluk Shani. Wahyu juga
terlihat disampingnya. Syukurlah, tapi ada hubungan apa Ian dengan Shani?
Tunggu!! Ian? Maksudnya Ian adiknya Shani? Kakeknya Shani juga sempat bercerita
mengenainya. Yah, tidak salah lagi.
Aku
memutuskan untuk kembali kekelas. Karena kupikir masalahnya sudah selesai, Ian
juga bersama dengan Shani dan Wahyu. Shani dan Wahyu!! Memikirkannya saja
membuatku kesal. Sesampainya dikelas kulihat Sinka masih berada disini, aku
duduk ditempat yang tidak jauh darinya.
“Katakan padaku. Apa kau kakaknya Ian?”
Tanyaku. Kulihat dia sangat kesal karena aku masih membahas Ian didepannya,
tapi aku tidak peduli. Aku harus tau kebenarannya.
“Lo itu kenapa sih? Ganggu orang lagi santai
aja tau ngga.” Ucapnya.
“Aku tidak peduli. Katakan padaku, kau
siapanya Ian? Kenapa dia memanggilmu kakak?” Tanyaku.
“Bukan urusan lo.” Ucapnya dengan nada keras
lalu beranjak pergi.
“Haahh dasar wanita.” Gerutuku.
Sambil
duduk menyender dan menutup wajahku dengan sebuah topi, tanpa melakukan apapun
aku masih tetap berada dikelas, menunggu upacara penutupan segera dimulai.
Waktu terasa sangat lama sekali. Kudengar ada suara langkah kaki masuk kekelas.
Siapa?
“Sedang apa kau disini Kido?” Tanya orang itu.
Aku melepaskan topi yang menghalangi wajahku.
“Wahyu. Kau rupanya.” Ucapku lalu memperbaiki
posisi dudukku.
“Sedang apa kau sendirian dikelas?” Tanyanya
lalu duduk dimeja didekat tempat dudukku
“Aku hanya sedang menunggu upacara penutupan
dimulai.” Ucapku.
“Setauku itu akan dilakukan sebentar lagi.”
Ucapnya.
“Begitu. Syukurlah.” Ucapku.
“Kido.” Ucapnya. Aku mengrenyitkan dahiku.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Sudahlah jujur saja pada dirimu sendiri.”
Ucapnya.
“Apa maksudmu?” Tanyaku.
“Kau menyukai Shani kan?” Tanyanya. Pertanyaan
yang sama.
“Itu..” Ucapku ragu.
“Kenapa? Tidak usah ragu mengakuinya.”
Ucapnya.
“Aku hanya bingung harus bersikap seperti
apa.” Ucapku.
“Jika memang iya, maka pertemanan kita akan
berakhir ketika Shani memilih salah satu diantara kita.” Ucapnya. Aku terdiam
sejenak.
“Ha? Jangan memutuskan seenaknya. Hanya karena
seorang wanita, kita harus mengakhiri persahabatan ini?” Tanyaku dengan sedikit
emosi.
“Tentu saja.” Ucapnya.
“Kenapa harus seperti itu?” Tanyaku.
“Coba pikirkan. Apa kau pikir seseorang akan
bisa hidup tenang bersama orang yang sama sama menyukai wanita yang sama? Jika
nantinya Shani memilihmu. Aku lebih baik menjauh dari kalian dan berusaha untuk
tidak menyentuh dunia yang sama lagi dengan kalian. Itulah yang aku pikirkan.”
Ucapnya. Apa yang dikatakan Wahyu masuk akal. Tapi. . . . .
“Aku tidak tau keputusanmu nantinya jika Shani
lebih memilihku. Namun aku harap, kau juga akan melakukan hal yang sama
sepertiku.” Lanjutnya.
“Apa hanya ini satu satunya jalan? Apa tidak
ada cara lain lagi?” Tanyaku.
“Jujur, kadang aku juga memikirkannya. Tapi
semakin aku memikirkannya, yang ada hanya rasa kesal dan putus asa yang aku
dapat. Aku mulai berfikir, tidak semuanya didunia ini bisa kita miliki. Kadang kita
harus memilih satu hal dan mengorbankan hal lainnya. Karena jika kita
bersikeras ingin memiliki semuanya, itu hanya akan membuat kita gagal dalam
mendapatkan hal apapun.” Ucapnya. Aku merenungkannya, apa memang harus seperti
ini akhirnya? Setelah satu tahun kita berteman. Lalu tiba-tiba terputus saat
seseorang yang sama-sama kita sukai memilih salah satu diantara kita. Entah itu
aku ataupun Wahyu. Tapi aku juga merasakan hal yang sama seperti Wahyu jika
berada diposisi yang tidak terpilih.
“Jika nanti Shani memilihmu. Aku akan
memikirkannya sendiri. Tindakan apa yang akan aku lakukan selanjutnya.” Ucapku.
Wahyu tersenyum lalu melihat kearah jendela.
“Kau tau. Tujuanku sebenarnya bukan untuk
memutuskan pertemanan kita, hanya saja sebagai seseorang yang kalah. Tentunya
butuh waktu untuk menyembuhkan luka. Apalagi luka soal asmara. Jadi aku hanya
berfikir kesana. Jika luka itu benar benar sudah sembuh, aku pasti akan
menemuimu lagi.” Ucapnya. Aku melihat kearah yang dilihat Wahyu.
“Begitu.” Ucapku.
“Tapi itu jika aku yang kalah.” Ucapnya.
“Kau tau, baru kali ini aku bisa menyukai
seorang wanita dengan sangat serius seperti ini.” Ucapku.
“Aku juga merasakan hal yang sama. Dilihat
dari sudut manapun dia sangat cantik.” Ucapnya. Yah, yang dilihat olehku dan
Wahyu adalah Shani. Dia sedang berada didepan kelas kami sedang mengobrol
dengan adiknya Ian. Sesekali dia tersenyum, tertawa dan cemberut. Entah apa
yang sedang dia bicarakan dengan adiknya itu. Tapi sungguh. Melihatnya seperti
itu membuatku tersenyum sendiri.
No comments:
Post a Comment