Sunday, November 27, 2016

Langit Biru Bagian 19


Hari itu selesai. Setelah berbicara banyak dengan Veranda, dan Raja telah menemukan titik permasalahannya. Dia pergi ke rumah Shinji, memutuskan bercerita semuanya pada Shinji tentang kenapa Veranda selalu mengacuhkannya. Shinji sedikit mengerti tentang situasinya.

“Kido kah?” Ucap Shinji

“Yah. Maaf karena sebelumnya aku tidak memberitahumu dulu kalau aku akan ketemuan dengan Veranda.” Ucap Raja.

“Tidak apa-apa.” Ucap Shinji

“Kemana rencanamu hari ini?” Tanya Raja.

“Tidak akan kemana-mana, aku akan bermalas malasan.” Ucap Shinji.

“Haa baiklah. Maaf aku tidak bisa menemanimu hari ini. Aku ada sedikit keperluan dengan Ibuku dan sepertinya bakal seharian penuh. Jadi kalau ada apa-apa, telpon Ve saja.” Ucap Raja. Shinji mengrenyitkan keningnya.

“Ve? Kenapa aku harus menelponnya? Berbicara secara langsung saja dia tidak pernah menghiraukanku. Apalagi lewat ponsel.” Ucap Shinji.

“Ahh benar juga. baiklah. Sampai jumpa.” Ucap Raja lalu pergi.

“Ya. Sampaikan salamku pada ibumu.” Ucap Shinji.

Hari hari terus berlalu, Veranda mulai sedikit tidak mengacuhkan Shinji. Mereka selalu saling berbicara satu sama lain, tentang masalah apapun. Raja terlihat sangat senang melihat Shinji kembali dipenuhi senyuman yang sempat meredup beberapa waktu. Kadang mereka bertiga hangout bersama, membicarakan hal yang penting dan juga tidak penting. Disebuah café pada malam hari setelah diumumkan bahwa Veranda akan pergi ke Amerika. Mereka bertiga ketemuan disana, setelah memesan pesanan masing masing. Suasana justru menjadi sangat hening.

“Mmm..” Ucap Raja berdehem. Shinji melihat Raja, seakan tau apa maksudnya.

“Kau baik-baik saja Ve?” Tanya Shinji. Ve hanya tersenyum.

“Tentu.” Ucap Ve.

“Aku ijin ke toilet sebentar.” Ucap Raja lalu pergi.

“Ya.” Ucap Shinji.

“Ada apa memangnya?” Tanya Ve.

“Soal keberangkatanmu ke Amerika minggu depan. Sepertinya… Aku… benar-benar akan sangat merindukanmu.” Ucap Shinji. Ve hanya tersenyum sambil menatap Shinji.

“Kalau begitu, kenapa kau tidak berusaha menghentikanku untuk berangkat kesana?” Tanya Ve.

“Tidak mungkin. Bagaimanapun juga ini termasuk mimpimu kan? Bisa belajar diluar negeri.” Ucap Shinji.

“Sudahlah Shinji. Lagipula aku disana hanya satu tahun.” Ucap Veranda.

“Itu terasa sangat lama buatku.” Ucap Shinji. Ve hanya tertawa pelan.

“Kau juga akan merayakan ulang tahunmu disana.” Ucap Shinji lagi. Ve terlihat sedang berfikir.

“Benar juga. Aku akan melewati hari kelahiranku disana. Pasti menyenangkan.” Ucap Ve yang benar benar terlihat senang.

“Ve.” Panggil Shinji.

“Apa?” Tanya Ve.

“Aku… Aku hanya ingin tau. Perasaanmu yang sebenarnya padaku itu seperti apa?” Ucap Shinji. Mendengar pertanyaan itu Ve hanya terdiam, bibir mungilnya tidak bisa berkata apa-apa pada Shinji. Perasaan bingung kini menyelimuti Ve, dia sendiri bingung dengan perasaannya.

“Kalau kau tidak mau memberitahuku juga tidak apa-apa, maaf karena telah bertanya hal aneh padamu.” Ucap Shinji. Raja yang sedari tadi terus mengawasi mereka benar-benar geregetan melihat tingkah Shinji. Raja sebenarnya tidak pergi ke toilet. Dia hanya ingin member waktu mereka berdua untuk berbicara empat mata.

“Bodoh. Apa yang kau lakukan.” Gerutu Raja. Dia memang tidak secara jelas mendengar langsung percakapan mereka. Dia hanya bisa melihat gerak bibir keduanya dan mendeskripsikan apa yang mereka berdua katakan dengan memperhatikan gerak muka dan ekspresi mereka berdua untuk mendapat kesimpulan mengenai apa yang mereka bicarakan.

“Sebenarnya.” Ucap Ve. Raja langsung fokus memperhatikan, Shinji justru sangat gugup mendengar hal ini.

“Sebenarnya?” Tanya Shinji.

“Perasaanku padamu itu sama dengan perasaanku ke Raja, aku hanya merasa kita dekat karena kita berteman dan juga sering bertemu. Hanya itu.” Ucap Ve.

“Begitu ya.” Ucap Shinji.

“Maaf ya Shinji.” Ucap Ve.

“Tidak. Aku justru bersyukur karena sudah dianggap teman oleh mu.” Ucap Shinji. Bohong!! Sebenarnya seketika waktu itu juga hati Shinji benar-benar hancur bagaikan ditusuk jutaan duri yang tajam. Mendengar hal itu Ve tersenyum lega. Namun seketika suasana menjadi sangat hening. Raja berpikir mungkin inilah saatnya dia kembali, dia mulai berjalan kearah mereka berdua.

“Apa ini. Kenapa suasana disini sangat tenang? Apa kalian tadi saling berbicara?” Tanya Raja yang tentunya tau apa yang terjadi pada mereka.

“Tentu saja, kau saja yang tidak tau.” Ucap Shinji.

“Oi Ve ngomong-ngomong kapan adik dan ibumu pindah kesini?” Tanya Raja.

“Minggu depan.” Ucap Ve.

“Itu artinya sama dengan jadwal keberangkatanmu ke Amerika?” Tanya Raja.

“Lebih tepatnya sehari sebelum keberangkatanku. Aku juga berencana untuk memundurkan jadwal keberangkatanku ke Amerika jadi sore hari.”

“Kenapa?” Tanya Shinji.

“Aku ingin mengantar Kido ke sekolah barunya. Dan juga aku ingin menunggu dia pulang dari sekolah dan mengucapkan selamat tinggal padanya. Itupun kalo aku bisa melakukannya.” Ucap Ve, dia terlihat sangat senang. Seulas senyuman terlukis jelas di wajah cantiknya. Raja dan Shinji yang melihat itu tidak bisa apa-apa. Hanya bisa mengagumi kecantikan seorang Veranda.

“Hee. Kelihatannya kau begitu sayang dengan adikmu.” Ucap Raja.

“Tentu saja. Aku akan selalu menyayanginya. Entah kenapa aku merasa dia masih belum tumbuh menjadi dewasa. Atau memang karena aku selalu memandangnya sebagai seorang anak kecil yang butuh perlindungan.” Ucap Ve.

“Kelas berapa dia?” Tanya Shinji.

“Kelas satu SMA semester 2.” Ucap Ve.

“Hee. Kita juga semester 2 kan?” Tanya Raja polos.

“Tentu saja berbeda bodoh. Kita kuliah sedangkan Kido masih di SMA. Bagaimana kau ini.” Ucap Shinji dengan emosi sambil meninju pelan lengan Raja.

“Maaf maaf.” Ucap Raja. Melihat kejadian itu membuat Ve menahan tawanya. Shinji dan Raja melihat itu. Tentu saja mereka sangat senang ketika melihat seorang Veranda tertawa karena tingkah konyol mereka berdua.

#Flashback Off

*Kido POV

“Jadi sampai sekarang sebenarnya hubungan mereka baik-baik saja kan?” Tanyaku yang sudah mendengar ceritanya.

“Tentu.” Jawab Raja.

“Mendengar ceritamu, sepertinya hal itu sedang aku alami sekarang.” Ucapku. Raja melihatku dengan tatapan yang penuh Tanya.

“Maksudmu kau pernah ditolak seorang gadis beberapa kali?” Tanyanya.

“Bukan!! Yah bisa dibilang ini berbeda tapi… Apa kau juga menyukai kakakku?” Tanyaku. Dia memalingkan wajahnya.

“Entahlah. Aku sendiri bingung dengan perasaanku.” Ucapnya.

“Sudah kuduga itulah jawabanmu. Kenapa kau bingung?” Tanyaku.

“Kau tau. Ini disebut dilema. Menyukai seorang gadis yang sama dengan sahabatmu sendiri adalah hal yang sangat tidak aku inginkan. Tapi, melihat kedua sahabatku tersenyum bahagia adalah segalanya buatku. Aku tidak peduli dengan perasaanku sendiri. Aku hanya berfikir bagaimana agar senyuman senyuman itu tidak akan hilang dan tetap terus bertahan hingga nanti. Karena setiap kali aku melihat senyuman mereka, diriku merasa kalau aku sudah melakukan tugasku dengan baik. Untuk sisanya aku serahkan pada Tuhan. Karena Dia tau apa yang terbaik buatku nantinya.” Ucap Raja panjang. Kulihat dia sedang menahan air matanya. Kasusnya sama sepertiku, lalu keputusannya hanya bergantung padaku. Apa aku harus tetap menjadi payung untuk melindungi hubungan Wahyu dan Shani atau menjadi angin yang memisahkan mereka berdua. Aku akan memikirkannya.

“Hee. Menjadi payung untuk melindungi dua sahabatmu rupanya. Tapi asal kau tahu. Tindakan bodohmu itu tidak akan mendapat pujian dari siapapun meskipun menurutku sangat layak mendapatkannya. Rela menyakiti dirimu sendiri hanya karena sebuah senyuman dua sahabat yang kau punya. Sejauh itukah kau memikirkan mereka? Lalu apa mereka memikirkanmu sejauh itu juga? Apa yang akan mereka lakukan jika berada diposisimu? Apa mereka akan melakukan hal yang sama denganmu? Kau tahu, memikirkan semua itu tidak akan ada habisnya. Jawabannya ada pada diri manusianya masing-masing. Entah dia memiliki hati seorang kesatria sepertimu atau hati sampah yang hanya memperdulikan diri mereka sendiri.” Ucapku. Apa? Aku bicara terlalu banyak. Aku harap tidak menyinggungnya sedikitpun, karena aku kagum padanya.

“Kau benar. Itulah manusia.” Ucapnya sambil tersenyum. Kenapa dia?

“Kalau semua sifat manusia baik. Maka bukan manusia lagi namanya, benarkan?” Ucapnya lagi.

“Dasar.” Ucapku tersenyum lalu beranjak dari kursi.

“Mau kemana?” Tanyanya.

“Aku ingin menemui Shinji. Dia harus bertanggung jawab karena telah memukuliku tempo hari.” Ucapku lalu berjalan pergi.

“Baiklah. Selesaikan urusanmu. Senang bisa bicara banyak denganmu Kido.” Ucapnya sambil teriak. Ternyata masih ada orang yang seperti itu dizaman yang gila ini.

No comments:

Post a Comment