Thursday, December 29, 2016

Langit Biru Bagian 24 (Last)


Kenapa selalu ada saja godaan saat aku benar-benar ingin berjuang keras mencari ilmu diluar negeri. Waktu terus berjalan, kulihat jam menunjukan pukul 10 lebih 30 menit.

“Hei nak, sudah lama menunggu?” Tanya seseorang yang baru saja tiba. Dia Ayahku.

“Tidak juga.” Ucapku.

“Baguslah. Pesawat kita berangkat pukul 11 lebih 4 menit. Bersiaplah, sebentar lagi kita akan berangkat.” Ucapnya.

“Tentu.” Ucapku datar. Ayahku lalu melihatku lekat.

“Everything is fine, right?” Tanyanya.

“Yes, of course.” Ucapku.

“Great..” Ucapnya.

“Ah ya.. kita…”

“Kidoo!!” Teriak seseorang dari kejauahan. Aku menengoknya dan ternyata itu Okta, Jagger juga bersamanya.

“Your friends?” Tanya Ayahku.

“Yes.” Ucapku.

“Kalau begitu Ayah tunggu didepan sana.” Ucap Ayahku sambil menunjuk tempat pengecekan barang.

“Ya.” Ucapku.

“Hei.. kau benar-benar akan ke Jerman Kid?” Tanya Jagger sambil bersalaman denganku.

“Tentu. Mengejar mimpi.” Ucapku.

“Mengagumkan. Semoga berhasil, dan jangan pernah melupakan negara asalmu.” Ucapnya.

“Heh, itu hal yang konyol. Mana mungkin aku melupakan negara ini.” Ucapku. Kulihat Okta hanya menunduk sambil memainkan jari-jarinya.

“Kau tidak mau mengucapkan apapun padaku?” Tanyaku padanya. Dia kebingungan, salah tingkah dan semacamnya.

“Ehhh, anu.. itu..” Ucapnya gugup. Jagger lalu berbisik ditelingaku.

“Sejujurnya dia masih merasa bersalah. Dia berfikir karena dia mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dia katakan. Kau jadi akan pergi ke Jerman.” Ucap Jagger.

“Dan dia beranggapan kalau aku pergi ke Jerman hanya karena perkataannya.” Ucapku juga berbisik.

“Mungkin.” Ucap Jagger sambil mengangkat kedua bahunya.

“Astagaa..” Ucapku sambil menutup wajahku.

“Dengar Okta.” Ucapku sambil memegang kedua pundaknya.

“Ya?” Ucapnya. Tapi dia tidak mau menatap wajahku. Apa wajahku seseram itu?

“Semua yang kulakukan ini. Semuanya. Aku pergi ke Jerman bukan karena depresi atau apa.” Ucapku. Dia terlihat sedikit tenang.

“Aku hanya ingin meraih mimpiku disana. Tidak lebih dari itu. Lagipula konyol juga kalau aku pergi jauh-jauh ke Jerman hanya karena sesuatu hal yang membuatku tidak nyaman. Jadi, kau jangan terlalu memikirkannya. Aku kan sudah bilang padamu waktu itu. Kau tidak perlu merasa bersalah seperti ini. Ya?” Ucapku padanya. Dia pendengar yang baik. Aku lalu memegang kepalanya, mengacak-acak rambutnya. Dia terlihat kesal dan akhirnya tersenyum juga.

“Baiklah aku harus pergi.” Ucapku lalu berjalan menuju Ayahku yang sudah menungguku.

“Kau yakin tidak akan berpamitan dengannya?” Teriak lagi salah seorang disalah satu sudut bandara. Aku menoleh.

“Wahyu?” Ucapku.

“Tak kusangka kau memutuskan jalanmu sendiri.” Ucapnya sambil berjalan mendekatiku.

“Ya tentu.” Ucapku.

“Cihh dia selalu saja mengganggu.” Ucap jagger.

“Lalu? Mau pergi begitu saja?” Tanyanya.

“Apa maksudmu? Lalu aku harus apa?” Tanyaku balik.

“Tidak. Semoga sukses. Dan jangan melupakanku.” Ucapnya. Aku hanya tersenyum.

“Aku tidak mungkin melupakan orang langka sepertimu.” Ucapku, Wahyu juga tersenyum.

“Hmm.. dasar.” Ucapnya. Anehnya aku juga melihat Kak Ve dan Ibu dari kejauhan? Apa aku salah lihat.

“Akhirnya kalian datang.” Ucap Ayahku yang sudah berada didekatku.

“Apa maksudnya? Ayah menyuruh mereka berdua kesini?” Tanyaku.

“Tentu, Ibumu bilang kau dan kakakmu sedang dalam kondisi yang tidak akrab. Ibumu mengkhawatirkannya dan bercerita padaku. Maka nya Ayah menelpon Ve dan menyuruhnya dan Ibumu untuk menemuimu disini.” Ucapnya.

“Yah. Terserah Ayah saja.” Ucapku.

“Bidadari!! Oohh!!” Ucap Wahyu dengan antusias.

“Kau bahkan tidak berubah sedikit pun sejak 1,5 tahun yang lalu.” Ucapku.

Dengan langkah sedikit terburu-buru Kak Ve dan Ibu berjalan mendekati kami.

“Kalian sudah mau berangkat?” Tanya Ibuku.

“Yah, hanya sebentar lagi.” Ucap Ayahku. Kak Ve melihatku dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

“Kalau tidak mengatakan apa-apa nantinya kau akan menyesal Ve.” Ucap Ayahku. Kak Ve dengan cepat lalu memelukku, bahunya bergetar hebat. Sepertinya kejadian seperti ini pernah terjadi. Hanya saja ada pertukaran posisi disini. Aku membelai rambutnya.

“Menangislah. Kakak bilang tau semuanya tentangku karena kita satu rumah sudah lama. Maka, kata-kata itu berlaku untuk Kakak juga. Aku tau semua yang Kakak sukai, semuanya. Kebiasaan kakak dan juga sifat kakak. Selama dikamar tadi Kakak berbicara padaku tapi pandangan kakak hanya mengarah ke album foto keluarga. Kakak tau apa artinya? Aku pikir kakak akan menangis saat itu juga jika berbicara langsung denganku sambil saling bertatapan. Tapi aku pikir itu tidak akan terjadi, karena aku tau kau kakak yang sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari siapapun. Namun aku terkejut mendengar bahwa kakak menangis hanya karena aku.” Ucapku. Kedua orang tua kami menahan sedih mereka.

“Ini hanya sebentar. Aku yakin. Waktu yang aku habiskan di Jerman nanti pasti akan sangat cepat. Lagi pula, kakak disini memiliki orang-orang yang sayang sama kakak. Orang-orang menganggap kakak spesial, jadi aku yakin tidak akan ada seorang pun yang berani macam-macam sama kakak. Karena apa? Karena aku yakin akan ada orang yang menjaga dan melindungi kakak.” Ucapku dengan lirih. Kak Ve menangis, dia benar-benar tidak bisa menahan kesedihannya.

Posisi kami tidak berubah sekitar beberapa menit. Kulihat semua orang juga merasa sedih. Apalagi Wahyu.

“Siaall!!! Kau benar benar menyebalkan Kido!! Membuat seorang bidadari menangis adalah hal yang kejam!!” Ucapnya sambil menangis.

“Berisik sekali kau Wahyu.” Ucap Jagger sambil mengusap sedikit air matanya yang keluar.

“Diam kau. Ini bukan urusanmu.” Ucapnya yang masih menangis.

Perlahan kak Ve melepaskan pelukannya. Kulihat pipinya begitu basah karena air matanya yang mengalir begitu deras.

“Kamu janji bakal pulang?” Ucapnya sambil menyodorkan jari kelingkingnya.

“Janji.” Ucapku yang mengaitkan jari kelingkingku pada kelingkingnya.

“Lalu.” Ucapnya.

“Apa?” Tanyaku.

“Kenapa Shani tidak ada disini?” Tanyanya.

“Shani? Kenapa kakak bertanya padaku?” Ucapku bingung.

“Kido. Ayo nak sudah waktunya.” Ucap Ayahku sambil berbalik.

“Ahh ya.” Ucapku bergegas.

‘Pluukkk’

Sebuah gelang terjatuh yang sebelumnya mendarat di pipi kananku. Aku mengambilnya, kulihat gelangnya memiliki model yang sama dengan gelang yang aku dapatkan dari hadiah ulang tahunku waktu itu. Aku melihat sekitar, aku cari orang yang melemparkan gelang ini padaku.

‘Deg’

“Shani?” Ucapku. Kulihat Shani hanya cemberut menandakan kekesalannya padaku. Yah memang wajar jika dia bersikap seperti itu, aku sudah mengabaikannya. Bahkan ketika dia libur sekolah, selalu saja menyempatkan datang kerumahku. Tapi satu kalipun aku tidak pernah menemuinya. Jahat bukan?
 
Dia berjalan kearahku dengan tatapan yang sulit ku mengerti. Kami akhirnya saling berhadapan.

‘Plaakkk’

Tamparan keras mengarah ke pipi kiriku. Aku mengusap pipi kiriku. Yah, aku memang pantas mendapatkannya.

“Kenapa?” Tanyanya lirih.

“Kenapa menjauh dariku?” Tanyanya lagi.

“Apa karena aku selalu dekat dengan Wahyu sehingga kau berfikir untuk menjauhi kami. Begitu?” Ucapnya dengan penuh emosi.

‘Buummm’ ‘Strikeee’

“Ya. Anggap saja aku melakukannya karena alasan seperti itu.” Ucapku. Dia menutup mulutnya lalu mata yang indah itu akhirnya mengeluarkan airnya yang mengalir begitu indah.

“Brengsek Kau Kido!! Beraninya membuat Shani menangis.” Ucap Wahyu sambil mengepalkan tangannya. Dan hendak berjalan kearah kami, tapi ditahan oleh Jagger.

“Diamlah disini keparat!! Kau mengganggu suasana mereka.” Ucap Jagger.

“Bodoh!! Lepaskan aku!!” Ucapnya berontak.

“Tidak akan.!!” Ucap Jagger yang semakin keras menahan Wahyu.

“Dengar aku tau aku salah. Aku hanya, aku hanya tidak ingin mengganggu kedekatanmu dengan Wahyu. Itu saja.” Ucapku.

“Jadi kumohon padamu jangan menangis. Aku tidak tega melihatmu menangis seperti ini. Aku jadi seperti orang yang jahat karena membiarkan seorang wanita menangis karena ulahku.” Ucapku yang terus menenangkannya

Shani masih menutup mulutnya, dia bahkan tidak sedikitpun berhenti menangis. Kulirik ka Ve agar membantuku dalam situasi seperti ini. Dan kak Ve pun menghampiri Shani lalu perlahan mendekapnya.

“Maaf karena sikap bodohku itu membuatmu jadi seperti ini. Aku memang orang terbodoh didunia. Aku hanya… aku hanya sayang padamu. Aku suka padamu. Aku tidak ingin kehilanganmu. Senyumanmu adalah anugerah tersendiri buatku. Aku rela kau dekat dengan siapapun asalkan kau tetap tersenyum. Jadi ketika kau bersedih seperti ini. Aku benar-benar tidak ingin melihatnya.” Ucapku yang kemudian berbalik membelakanginya.

“Oii Brengsek!! Jangan pergi dulu sialan!!.” Ucap Wahyu yang masih ditahan Jagger.

“Diamlah dan nikmati saja suasana ini Bodoh!!” Ucap Jagger.

“Kido!! Pesawatnya akan segera lepas landas. Jika tidak bergegas maka kita harus menunggu lebih lama lagi dan Ayah tidak bisa melakukan hal itu karena ada jadwal yang harus Ayah lakukan di Jerman.” Ucap Ayahku.

“Baiklah yah, aku mengerti. Aku segera kesana.” Ucapku. Kemudian berjalan perlahan meninggalkan Shani yang masih larut dalam kesedihannya dan berusaha ditenangkan oleh Kak Ve.

“Orang.” Ucap Shani lirih. Aku berhenti berjalan.

“Shani, sudah jangan memaksakan dirimu.” Ucap kak Ve.

“Orang yang akan kutunggu hingga dewasa nanti.” Ucap Shani sambil terengap engap.

“Kido!!” Teriak Ayahku.

“Yang diceritakan oleh kakekku padamu dan Wahyu… adalah Kau.. Kido.” Ucapnya. Aku tersenyum. Tanpa berbalik aku lanjut berjalan menyusul Ayahku. Aku dan Ayah berjalan menuju pesawat yang akan aku dan Ayah naiki.

“Kau benar-benar memiliki teman yang unik.” Ucap Ayahku sambil berjalan.

“Benarkah?” Tanyaku.

“Ohh ya, siapa wanita itu? Shani?” Tanya Ayahku.

“Yah, dia Shani. Kenapa?” Tanyaku.

“Tidak apa-apa. Hanya saja kau benar-benar tepat sekali memilih pasanganmu.” Ucap Ayahku.

“Pasangan? Yang benar saja. Kita bahkan belum berpacaran sama sekali.” Ucapku.

“Tidak perlu berpacaran untuk melakukan suatu hubungan. Jika memang kau merasa cocok dengannya. Nanti akan Ayah lamarkan dia untukmu.” Ucap Ayahku.

“Jika tidak berpacaran dulu, lalu bagaimana aku tau karakternya?” Tanyaku.

“Ayolah jangan kuno. Apa sekarang kau tidak tau apa apa tentangnya?” Tanya balik ayahku.

“Sedikit.” Ucapku.

“Lihat? Kau bahkan tidak pernah berpacaran dengannya tapi kau bisa tau tentangnya meski hanya sedikit. Pacaran itu hanya modus saja. Tidak perlu melakukan suatu hubungan yang tidak jelas nantinya. Lebih baik langsung dilamar saja gimana?” Ucap Ayahku. Aku sedikit terdiam.

“So. What do you mean about her?” Tanyaku.

“She is cute, girlies, and….. she’s look like your mother.” Ucapnya.

“Did you?” Tanyaku.

“Yeah. But is a long time ago.” Ucapnya sambil tersenyum.
 
Kami duduk dikursi pesawat. Pramugari mengatakan beberapa hal mengenai standar keselamatan dan sebagainya. Dan tidak lama kemudian pesawat pun lepas landas. Banyak hal yang kupelajari dari kehidupanku, Kadang hanya melihat saja tidak lah cukup. Kau harus memahami dan mengerti situasi yang terjadi lalu ambil kesimpulan yang bisa kau dapatkan dari hal itu. Kita tidak hanya belajar bagaimana memahami perasaan kita sendiri, tapi kita juga harus bisa belajar memahami perasaan orang lain, Jika kau bisa melakukannya maka dunia yang kau impikan akan benar-benar terwujud.
‘End’

Langit Biru Bagian 23


Setelah membereskan semua barang-barangku dan menurutku tidak ada yang tertinggal. Aku berpamitan pada ibu. Aku sudah memesan taksi sebelumnya dan taksinya juga sudah menunggu. Barang-barang sudah kumasukan kedalam bagasi.

“Jaga dirimu baik-baik disana.” Ucap Ibuku.

“Tentu.” Ucapku.

“Boleh ibu memelukmu?” Tanya ibuku dengan sedikit lirih.

“Kapanpun.” Ucapku lalu memeluknya dengan erat.

“Ibu akan sangat merindukanmu.” Ucapnya.

“Aku juga. Ibu jaga kesehatannya yah. Sesekali aku pasti pulang untuk menengok ibu disini.” Ucapku. Ibuku lalu melepaskan pelukannya.

“Kamu juga, makan yang teratur. Jangan makan sembarangan. Jangan bergaul dengan orang yang tidak jelas asal usulnya.” Ucap Ibuku.

“ya ya. Aku mengerti.” Ucapku. Aku melihat rumahku. Akan sangat merindukannya pasti.

“Kak Ve tidak kesini?” Tanyaku.

“Kakakmu masih didalam, tadi sudah ibu panggilkan tapi dia tetap disana.” Ucap Ibuku.

“Begitu ya.”  Ucapku.

“Dia sangat sayang sekali padamu.” Ucap Ibuku.

“Aku juga sangat menyayanginya.” Ucapku.

“Ibu akan sangat rindu saat saat kalian bertengkar.” Ucap Ibuku. Aku sedikit tertawa.

“Jadi hanya itu yang ibu rindukan dari kami?” Ucapku sambil tersenyum. Ibuku sedikit tertawa.

“Sudahlah, sana berangkat. Kasihan Ayahmu. Dia pasti sedang menunggumu.” Ucap Ibuku.

“Baiklah.  Aku berangkat.” Ucapku sambil membuka pintu belakang taksi.

Akhirnya berangkat juga. Aku membuka kaca jendela taksi itu.

“Ohh ya sampaikan pada kak Ve. Aku lebih setuju dia berhubungan dengan Raja daripada orang yang bernama Shinji itu.” Lanjutku.

“Ibu akan menyampaikannya.” Ucap Ibuku. Taksi perlahan mulai berangkat, sambil membunyikan klaksonnya dua kali.

Aku melambaikan tangan pada Ibuku. Ibuku juga melakukan hal yang sama. Sampai aku tidak melihat bayangannya lagi. Aku lalu duduk bersender dan memejamkan mataku. Dikota ini, aku mengenal seseorang yang berbeda. Seorang wanita berparas ayu dan berpenampilan menarik. Telah mencuri hati dan perasaanku. Juga seorang sahabat yang begitu keras kepala dan egois, namun dialah sahabat terbaik yang aku punya sampai saat ini.

Banyak sekali kenangan yang tersirat dikota ini. Ketika sore hari, saat hujan deras dan petir bergemuruh sangat kencang. Aku dan dia berteduh disuatu toko yang berjualan sembako. Namun saat itu tokonya sedang tutup. Dia terkena demam waktu itu. Dengan susah payah, setelah hujan reda. Aku memangkunya dan membawanya ke rumahnya.

Ibunya bilang dia sangat rapuh. Meski terkena hujan sebentar dia akan langsung terkena demam seperti itu. Kakek dan Neneknya sangat baik dan romantis. Mereka benar-benar terlihat seperti seorang pasangan remaja yang lagi kasmaran.

Setelah pulang dari Amerika untuk menengok keadaan kakakku. Hubunganku dengan Wahyu semakin memburuk. Bahkan kami tidak pernah bertegur sapa saat itu. Jika saja aku tidak menghampirinya dan meminta penjelasan mengenai sifatnya yang seperti itu. Mungkin sampai saat ini aku dan Wahyu masih seperti itu.

Wahyu benar-benar orang yang paling semangat kalau masalah wanita. Tapi saat pertama kali dia mengenal Shani. Dia menyiratkan akan bersungguh sungguh dengan keputusannya. Dia bertekad untuk tetap focus pada satu wanita dan tidak pernah berpaling lagi. Dia bilang sangat terpana dengan kecantikan dan keanggunan Shani. Meski aku juga merasakan apa yang dia rasakan waktu itu. Dan sampai saat ini dia membuktikan perkataannya.

Okta dan Jagger, aku pikir mereka berdua adalah sepasang kekasih. Namun, setelah mendengar cerita yang sebenarnya dari Jagger bahwa Okta menyukaiku, aku benar-benar tidak mempercayainya. Bahkan aku membuat Okta menangis histeris karena aku sudah mengacuhkan keberadaanya. Sungguh pengalaman yang tidak ingin aku lalui lagi.

Ohh benar juga. Bella dan Rena. Mereka adalah sejoli yang memutuskan untuk sekolah di SMA yang sama dengan aku dan Wahyu. Kemana-mana mereka selalu bersama, namun akhir-akhir ini aku jarang bertemu mereka. Mungkin karena kesibukan kami berbeda jadi kita jarang bertemu. 

Lalu ada masalah yang rumit antara Kak Ve dengan kedua teman kampusnya. Shinji dan Raja. Aku sempat berfikir kalau kejadian mereka atau masalah mereka memiliki kemiripan dengan masalah yang aku, Wahyu dan Shani alami. Namun jelas jauh berbeda. Baik Shinji maupun Raja tidak akan melakukan hal semacam ini. Ya. Pergi jauh untuk menenangkan pikiran dan perasaan mereka karena kalah dalam hal asmara.

Mereka jelas berbeda dengan kami. Tentu saja faktor usia memperngaruhi perbedaan pola pikir kami. Tapi sejujurnya, aku pergi ke Jerman bukan semata-mata karena hubungan Shani dan Wahyu. Itu karena aku mulai tertarik untuk belajar diluar negeri. Aku juga sempat berbicara panjang dengan Ayahku mengenai rencanaku ini. Dan dia mendukung penuh apapun keputusanku.

Sinka. Seseorang yang awalnya membuat aku tertarik, tapi tidak karena sifat dan sikapnya yang menjengkelkan menurutku. Andai saja dia bisa lebih lembut sedikit dan lebih feminim mungkin aku akan beralih hati padanya. Wkwkwk.

Masih ada hal yang aku belum ketahui. Kenapa Ian memanggilnya kakak? Aku pikir Ian adalah adik kandungnya Shani, kakeknya Shani menceritakan itu. Tapi aku tidak tau pasti.

“Kita sudah sampai mas.” Ucap Supir taksi itu.

“Ahh ya.” Ucapku yang bangun dari lamunanku lalu bergegas keluar mobil dan mengambil barang-barang yang ada dibagasi.

Bandara Soekarno Hatta. Aku sudah sampai disini, aku melihat jam dan baru menunjukan pukul 9 lewat 33 menit. Sial aku terlalu cepat datang kesini. Aku masuk ke bandara dan duduk diruang tunggu.

“Jadi kau memutuskan untuk pergi?” Ucap seseorang yang duduk didepanku yang menggunakan jaket bertudung. Aku mengerenyitkan dahiku. Siapa dia? Aku melihat kearah kiri dan kanan. Mungkin dia sedang berbicara dengan orang lain. Tapi aku tidak melihat siapapun disini selain kita berdua.

“Siapa…. Kau?” Tanyaku.

“Kau tidak mengenalku? Pertama kali aku bertemu denganmu menggunakan jaket ini.” Ucapnya.

“Aaahhh Shinji.” Ucapku terkejut.

“Seperti yang diharapkan.” Ucapnya lalu menengok. Ternyata memang benar dia Shinji.

“Sedang apa kau disini sendirian?” Tanyaku.

“Aku tidak sendirian. Raja bersamaku, tapi dia sedang pergi membeli beberapa minuman.” Ucapnya lalu berbalik lagi kedepan.

“Lalu? Kenapa kau ada disini? Menunggu seorang teman yang akan datang dari luar negeri?” Tanyaku.

“Tidak. Kakakmu yang menyuruhku datang kesini.” Ucapnya. Kak Ve?

“Apa? Kenapa?” Tanyaku.

“Dia hanya ingin memastikan kalau adiknya baik-baik saja dan tiba dibandara dengan selamat.” Ucapnya.

“Kenapa kau menurut sekali pada Kak Ve? Kau seorang laki-laki kan?” Ucapku.

“Apa maksudmu bocah?” Ucapnya sambil menengok kearahku dengan tatapan yang mengintimidasi seperti biasa.

“Tentu saja kau tau apa maksudku. Kak Ve seorang wanita dan Kau? Seorang Pria kan? Kenapa menurut sekali padanya?” Ucapku dengan datar. Dia lalu beranjak dari kursinya dan memegang kerahku dengan kencang.

“Brengsek.. Beraninya kau bocah sialan!!” Ucapnya dengan sangat emosi. Petugas keamanan yang melihat kami bergegas untuk memisahkan kami.

“AKU TIDAK MUNGKIN MENOLAK PERMINTAAN DARI SEORANG GADIS YANG SEDANG MENANGIS!! KAU TAU!!” Ucapnya dengan keras. Apa?

“Apa maksudmu menangis?” Tanyaku dengan penasaran. Menangis? Apa kak Ve benar-benar menangis? Tadi aku berkunjung kekamarnya dan dia terlihat baik-baik saja. Shinji melepaskan kerah bajuku.

“Ya dia menangis. Dia bahkan memohon padaku untuk melakukan ini. Dia hanya ingin memastikan adiknya datang ke bandara dengan keadaan selamat. HANYA ITU!!” Ucapnya dengan keras. Aku kembali duduk memalingkan wajahku. Kenapa dia melakukannya? Apa dia masih menganggapku sebagai seorang anak kecil yang perlu perlindungan?

Petugas keamanan yang sempat bergerak untuk memisahkan kita diam dan kembali melakukan pekerjaannya.

“BODOH!!” Ucap Shinji.

“Kakakmu sangat menyayangimu. Dia sangat peduli padamu!! Tapi kenapa kau justru meninggalkannnya sendirian?? Disaat dia benar-benar butuh sesosok laki-laki yang siap untuk melindunginya.” Ucapnya dengan lantang dan menahan tangisannya. Aku terdiam memikirkan semua yang dikatakan Shinji padaku. Namun, perkataan itu jelas tidak akan merubah keputusanku.

“Aku pergi bukan untuk selamanya.” Ucapku. Dia mengepalkan tangannya.

“Justru aku akan tenang belajar diluar negeri karena aku tau ada orang lain yang siap untuk menjaga dan melindungi kak Ve saat ini.” Ucapku. Dia menatapku.

“Bukankah sosok itu sedang tepat berada dihadapanku?” Lanjutku

“Aku percaya padamu dan Raja. Aku percaya pada kalian berdua kalau kak Ve akan baik-baik saja nantinya. Atas pertimbangan itu juga aku memutuskan untuk pergi kuliah diluar negeri.” Ucapku. Dia terdiam. Kulihat Raja baru saja datang dan dia memegang minuman yang dia beli.

“Kido. Syukurlah kau selamat.” Ucapnya.

“Kau juga melakukannya Raja?” Tanyaku.

“Demi sahabatku apapun akan aku lakukan.” Ucapnya sambil tersenyum. Shinji bergegas pergi dari sana.

“Kemana kau Shinji?” Tanya Raja dengan keras.

“Tugas kita sudah  selesai. Kita pulang.” Ucapnya yang terus berjalan tanpa berhenti.

“Baiklah. Semoga kau bisa berhasil belajar disana.” Ucap Raja.

“Ya terimakasih atas doamu.” Ucapku. Raja lalu bergegas menyusul Shinji.

Friday, December 16, 2016

Langit Biru Bagian 22



Hari yang sedikit mendung mengawali hari terakhirku di negara ini. Ya, saat ini aku sudah lulus di SMA dan berencana melanjutkan kuliah ku di luar negeri. Mungkin tepatnya di Jerman.

Sudah 1,5 tahun sejak kejadian itu dan aku masih belum melupakannya. Bahkan selama itu juga aku enggan berbicara dengan Shani maupun Wahyu. Entah sikapku ini benar atau tidak, tapi Wahyu sendiri yang bilang seperti itu ditambah instingku bilang aku memang harus bersikap seperti ini.

Ibu dan Kakakku tentu bertanya-tanya padaku kenapa aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Bahkan ketika Shani mengunjungi rumahku, aku tetap mengurung diri dikamar. Pura-pura tidurlah atau cape, atau apapun alasannya yang bisa aku buat sendiri.

Aku berencana melanjutkan studiku di Jerman tentu bukan tanpa persiapan apapun. Kakakku bahkan terus menerus bertanya pertanyaan yang sama padaku ratusan kali. Saat ini aku sedang membereskan barang-barangku dikamar. Memisahkan mana yang akan aku bawa atau tidak.

“Kau yakin akan kuliah disana?” Tanya kak Ve yang tiba-tiba datang.

“Kakak sudah menanyakan hal itu ratusan kali. Dan jawabanku tetap sama.” Ucapku.

“Kau tau, kuliah diluar negeri itu berbeda dengan kuliah disini. Budayanya berbeda, peraturan, tata karma dan tentunya bahasa. Kau yakin bisa berkomunikasi dengan baik?” Ucapnya.

“Ya aku tau itu.” Ucapku.

“Pertanyaan macam apa itu? Kakak bilang kalau aku tidak bisa berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris? Yang benar saja.” Ucapku sedikit tertawa.

“But I’m seriously. Think again Kido.” Ucap kakakku.

“Sudahlah. Aku sudah memikirkannya ratusan bahkan ribuan kali. Aku harus melakukannya kak.” Ucapku.

“Apa ini karena hubungan Shani dan Wahyu?” Tanya kak Ve. Aku berhenti sejenak untuk membereskan barang-barangku.

“Tidak. Ini karena kemauanku sendiri.” Ucapku.

“Jangan berbohong Kido. Kakak tau setiap gerak gerikmu, setiap kebiasaanmu. Kakak tau itu.” Ucapnya.

“Lalu? Kalau memang kau tau segalanya tentangku. Apa aku harus melakukan semua yang kau katakan? Melakukan semua yang kau perintahkan? Itu Sama saja aku menjadi bonekamu.” Ucapku.

‘Plaaakkk’ tamparan keras tepat mengarah ke pipi kiriku.

Tanpa berbicara apapun lagi, kak Ve pergi setelah menamparku dengan keras. Aku mengusap pipi kiriku, tamparannya sama seperti Sinka. Lengkap sudah, dulu Sinka menamparku di pipi kanan, sekarang kak Ve melengkapinya dengan menamparku di pipi kiri.

Aku berbaring dikasur menatap langit-langit kamarku, memikirkan semua yang aku katakan tadi padanya. Mungkin memang aku lah yang keterlaluan karena sudah mengatakan hal yang tidak tidak pada seseorang yang sangat mengkhawatirkanku.

Aku memejamkan mataku, bayangan Shani muncul begitu saja. Bagaimana keadaan dia sekarang? Apa dia baik-baik saja? Sedang apa dia? Aku benar-benar merindukannya. 

Andai saja aku tidak mengenalnya. Mungkin perasaanku tidak akan sekacau ini sekarang. Pikirku. Aku mengambil bingkai foto Shani yang aku buat di laci meja belajarku. Foto yang menunjukan dia sedang tersenyum lepas. Diam-diam aku mengambil fotonya dulu, sewaktu kita masih dekat. Sampai sekarang dia tidak tau tentang hal ini.

HPku berbunyi. Ada panggilan masuk. Kulihat Ayah yang menelponku. Aku menekan tombol angkat lalu menempelkan handphoneku ke telinga kananku.

“Ya yah? Ada apa?” Tanyaku.

“Kau sudah bersiap-siap nak?” Tanya Ayahku.

“Tentu, hanya beberapa barang lagi aku masukan kedalam ranselku. Aku sudah siap.” Ucapku.

“Baguslah. Jam 10 kita bertemu di bandara, pesawatnya akan berangkat jam 11, Ayah sudah pesankan tiketnya.” Ucap Ayahku.

“Baiklah, terimakasih Yah.” Ucapku.

“Tentu.” Ucap Ayahku. Aku menutup telponnya, kembali bersiap siap. Aku putuskan untuk menyimpan foto Shani didalam kardus yang berisi barang-barang yang tidak terpakai, tapi tidak akan dibuang. Tentu saja sangat sulit untukku melupakannya.

Kulihat jam yang berada didinding kamarku. Waktu menunjukan pukul 8 lebih 12 menit. Aku membawa semua barang barangku ke ruang tengah.

Ohh sial. Aku melupakan sesuatu!! Aku kembali kekamar dan mengambil sebuah gelang yang bertuliskan nama seseorang lalu memakainya di lengan kananku, setelah itu aku langsung bergegas keruang tengah. Benda ini kudapat di hari ulang tahunku. Ada seseorang yang memberikannya dan dia bilang jangan pernah menghilangkan benda ini, karena ini akan menjadi hal yang penting nantinya. Aku bahkan tidak mengenal orang yang memberikan benda ini. Tapi aku merasa memang harus menjaganya.

“Sudah dapat telpon dari Ayahmu?” Tanya Ibuku.

“Sudah. Ayah bilang pesawatnya take jam 11. Tapi dia menyuruhku untuk datang ke bandara jam 10.” Ucapku.

“Tidak apa, kita ikuti saja apa yang Ayahmu katakan.” Ucap Ibuku.

“Kak Ve mana bu?” Tanyaku.

“Ada dikamarnya.” Jawab Ibuku.

“Begitu ya. Aku kesana sebentar.” Ucapku lalu pergi kekamar kak Ve.

Didepan pintu kamar kak Ve aku merasa gugup untuk mengetuknya. Tapi kuberanikan diri untuk hal ini.

‘tok tok tok’

Aku langsung membukanya perlahan dan masuk kekamarnya. Kulihat dia sedang duduk dimeja belajarnya dan sedang melihat beberapa album foto keluarga.

“Hai.. anu… soal yang tadi..” Ucapku gugup. Kak Ve tetap terpaku dengan posisinya. Dia bahkan tidak menoleh sedikitpun.

“Maaf aku terlalu kasar padamu.” Ucapku dengan penuh penyesalan.

“Dalam hal apapun kau lah orang yang selalu berada didekatku disaat aku sedang benar-benar dalam keadaan terpuruk. Mungkin jika saat itu kau tidak ada. Bisa saja aku melakukan hal yang tidak-tidak. Ummm.. sekali lagi maafkan perkataan bodohku.” Ucapku sambil membungkukan sedikit badanku lalu beranjak pergi.

“Dulu kau pernah bilang.” Ucapnya. Aku menghentikan langkahku.

“Waktu aku berangkat untuk tugas observasiku di Nevada, kau bilang padaku tidak suka perpisahan dengan cara sembunyi-sembunyi.” Ucapnya.

“Memang aku tidak menyukai cara itu.” Ucapku.

“Tapi, kau lihat sekarang? Aku justru lebih tersiksa, karena harus jauh darimu. Kau terang-terangan berkata akan kuliah di luar negeri. Sementara disini, aku pasti akan sangat kesepian.” Ucapnya dengan lirih sambil memegang erat album foto keluarga kami.

“Kak Ve.”

“Setelah sosok Ayah yang juga pergi ke luar negeri untuk masalah pekerjaan. Dan sekarang kamu satu-satunya laki-laki yang bisa melindungi Ibu dan Aku harus pergi juga ke luar negeri untuk kuliah. Lalu. Siapa yang akan menjaga dan melindungi kami selanjutnya?” Tanyanya dengan penuh emosional. Aku terdiam mendengar hal itu langsung dari bibir kecilnya.

Aku berjalan mendekatinya, melihat album foto yang dia lihat. Disitu ada foto aku, dia, ayah dan Ibu sedang menikmati liburan waktu di pantai. Waktu itu aku masih berusia 10 Tahun, sungguh menggemaskan. Aku tersenyum.

“Kau masih ingat dengan foto ini?” Tanyanya.

“Tentu.” Ucapku.

“Dulu kau berenang menggunakan ban yang disewa disana dan hampir terbawa arus ketengah laut. Kita bertiga kaget dan panik melihatnya, dan kau hanya menangis saja waktu itu. Untung ada nelayan yang menyelamatkanmu. Ekspresimu saat itu benar-benar sulit sekali dilupakan.” Ucapnya sambil tersenyum.

“Aku bahkan berfikir waktu itu akan ada hiu yang menyerangku dari dalam laut.” Ucapku.

“Ibu bahkan sempat nangis melihatmu.” Ucapnya.

“Dan karena peristiwa itu aku tidak diizinkan sama sekali untuk pergi kelaut lagi.” Ucapku.

“Tentu saja, setiap orang tua pasti akan melakukan hal yang sama.” Ucapnya.

Aku melihat jam, sudah pukul 8 lebih 42 menit. Saatnya aku harus pergi.

“Baiklah, aku harus bersiap.” Ucapku lalu berjalan meninggalkannya.

“I’m going to miss you so much.” Ucap Kak Ve.

“Me too.” Ucapku sambil berjalan.