Friday, October 28, 2016

Langit Biru Bagian 17


“Siapa itu? Tidak mungkin itu Wahyu. Secepat apapun dia.” Gerutuku sambil berjalan mendekati pintu lalu membukanya. Aku tersenyum, seseorang yang aku rindukan juga akhirnya telah datang. Kak Ve!!

“Hai Kido.” Sapanya.

“Kak Ve!! Syukurlah kau pulang dengan selamat. Ayo masuk, didalam sudah ada Shani.” Ucapku.

“Jadi dia sudah disini. Syukurlah.” Ucapnya. Ha? Apa maksudnya? Cara bicaranya seperti seseorang yang sudah membuat janji. Kak Ve lalu masuk sambil membawa kopernya. Sebelum aku menutup pintu, aku seperti melihat seseorang yang sedang menghadap ke rumah ini.

“Siapa?” Ucapku lalu menghampirinya. Dia? Kenapa dia ada disini.

“Shinji. Ada apa?” Tanyaku pada Shinji. Kulihat juga ada seseorang disampingnya. Mungkin seorang teman.

“Ayo kita pergi dari sini Shinji.” Ajak pria itu. Siapa dia? Shinji menghembuskan nafasnya kuat.

“Baiklah.” Ucap Shinji lalu berjalan pergi.

“Hoi tunggu!” Teriakku. Tapi dia mengabaikan panggilanku. Kenapa dia ada disini? Apa maksudnya? Dan siapa orang yang bersamanya itu?

“HOI!!!”

“Eh?” Aku kaget bukan maen. Seseorang mengagetkanku dari belakang. Siapa sih.

“Sedang apa kau disini?” Tanya seseorang yang sudah kukenal. Wahyu.

“Kau!! Mengagetkanku saja.” Ucapku kesal.

“Hahaha.. maaf. Habisnya bengong disini. Ntar diculik baru tau rasa.” Ucapnya.

“Sudahlah ayo masuk. Shani sudah menunggumu.” Ucapku.

“Benarkah!! Aku juga sangat rindu padanya.” Ucapnya lalu setengah berlari menuju rumahku.

“Dasar.” Ucapku sambil memijit keningku.

Didalam rumah kulihat Shani sedang asyik ngobrol dengan kak Ve sambil duduk dan menikmati minuman yang telah disediakan. Wahyu yang sedari tadi bersemangat jadi terdiam.

“Kau kenapa?” Tanyaku padanya.

“Hoi. Kau tidak memberitahuku kalau ada dua bidadari disini.” Ucapnya. Aku mengernyitkan keningku.

“Kau ini bicara apa?” Ucapku yang tidak mengerti dengan kata-katanya. Dia menggelengkan kepala.

“Apa mereka sedang mencari selendang mereka yang jatuh kebumi? Pantas saja tadi sore sedikit hujan. Ternyata langit pun ikut menangis kehilangan dua bidadarinya.” Ucapnya lagi.

‘Tak’

“Jangan banyak bicara! Cepat sapa dia. Lihat dia sudah melihatmu.” Ucapku lalu berjalan mendekati kak Ve. Hah bidadari? Kalau buat Shani aku setuju. Tapi untuk kak Ve? Aku rasa ia cocoknya dipanggil malaikat hitam.

“Ha-hai Shani.” Ucap Wahyu tergagap. Shani tersenyum. Mamposs pingsan pingsan lu disenyumin bidadari. Batinku.

“Hai Wahyu. Gimana kabarmu?” Balas Shani.

“Ahh baik kok. Hehehe.” Ucap Wahyu.

“Ohh jadi dia yang bernama Wahyu.” Bisik kak Ve ketelingaku. Aku hanya mengangguk.

“Wahyu. Perkenalkan ini kakakku.” Ucapku pada Wahyu. Kak Ve lalu berdiri dan mengulurkan tangannya.

“Jessica Veranda.” Ucap Kak Ve.

“Wahyu.” Ucap Wahyu sambil menjabat tangan Kak Ve.

“Silahkan duduk. Ini reuni kalian kan? Ayo jangan malu malu santai aja.” Ucap kak Ve.

“Iya kak.” Ucap Wahyu lalu duduk disebelah Shani.

“Kau mau kemana?” Tanyaku pada kak Ve. Dia hanya meregangkan badannya.

“Aku mau tidur. Capek banget hari ini.” Ucapnya lalu berjalan gontai.

“Baiklah. Selamat istirahat.” Ucapku.

“Oi Kido!!” Panggil Wahyu.

“Hah? Apa?” Tanyaku.

“Kau beruntung sekali punya kakak super cantik kayak dia.” Ucapnya.

“Ha? Yah kau benar dia memang cantik. Tapi setelah kau tau sifat aslinya. Sungguh tidak cocok buatku.” Ucapku.

“Tidak juga. kak Ve orang nya baik kok. Dia terbuka dan pandai berbicara.” Timpal Shani.

“Aku setuju. Tapi tetap saja Kak Ve dan aku itu tidak cocok.” Ucapku.

“Kau aneh. Ohh iya Shani. Kapan kau kembali? Masih lama kan?” Tanya Wahyu. Aku ikut mendengarkan.

“Minggu depan.” Ucap Shani.

“Yossh. Kalau begitu besok datanglah kesekolah. Ada class meeting dan pertandingan final tiap cabang olahraga. Kau mau datang dan mendukungku?” Tanya Wahyu dengan penuh harap.

“Tentu saja. Aku sangat senang.” Ucap Shani. Aku tersenyum.

“Yossh.. aku akan semakin bersemangat!!” Ucap Wahyu.

Kami bertiga menghabiskan waktu malam kami dengan mengobrol hal-hal yang menyenangkan. Bahkan kami sampai tidak mengenal waktu.

“Ehh sudah jam 12 malam. Aku harus segera pulang.” Ucap Shani lalu berdiri.

“Biar aku antar.” Tawarku.

“Tidak usah. Biar aku saja, lagi pula ini sudah malam sekali. Dan rumahku juga searah dengannya.” Ucap Wahyu juga lalu berdiri. Perasaan apa ini?

“Ohh baiklah. Hati-hati.” Ucapku datar. Aku mengantar mereka kedepan pintu.

“Ya. Kami pulang dulu Kido.” Ucap Wahyu. Shani melambaikan tangannya.

“Besok kita akan bertemu lagi.” Ucap Shani. Perasaanku tidak enak. Aku harap mereka baik-baik saja.

“Ya.” Ucapku. Mereka mulai berjalan pergi. Aku terus memperhatikan mereka sampai bayangan mereka menghilang.

Aku kembali masuk kerumah lalu mengunci pintunya. Berjalan dengan langkah gontai dan masuk kekamar lalu merebahkan tubuhku di ranjang dan tidur dengan rasa yang tidak menyenangkan.

Disekolah, seperti yang dijanjikan. Shani datang untuk mendukung Wahyu. Kulihat dari pagi Wahyu juga terasa sangat bersemangat tidak seperti biasanya.

“Kau terlihat senang sekali. Ada apa?” Tanyaku, meskipun aku tau kalau alasannya karena ada Shani

“Tidak ada. Aku hanya bersemangat saja.” Ucapnya.

“Begitu. Dimana Shani? Dia datang kan?” Tanyaku.

“Tentu saja.” Ucapnya mantap.

“Kalau begitu dimana dia sekarang?” Tanyaku.

“Ohh dia sedang membeli beberapa minuman.” Ucapnya.

“Maaf lama.” Ucap Shani yang baru datang.

“Ya, tidak apa apa.” Ucap Wahyu. Aku lihat Okta dan Jagger sedang melihat kearah kami. Saling berbicara satu sama lain, lalu berjalan kearah kami.

“Shanii!!” Teriak Okta. Shani langsung menengok, dia terkejut.

“Okta..!!” Ucap Shani. Mereka langsung berpelukan, mengobati rasa rindu mereka karena sudah lama tidak bertemu.

“Bagaimana kabarmu? Sehat?” Tanya Okta.

“Iya, aku sehat. Kalau kamu?” Tanya balik Shani.

“Selalu sehat.” Ucap Okta.

“Cihh kenapa kau selalu merusak pemandangan disini.” Ucap Jagger sambil melirik Wahyu.

“Apa maksudmu?” Tanya Wahyu kesal.

“Oi, kumohon hentikan. Kenapa kalian setiap kali bertemu selalu seperti ini.” Ucapku menenangkan. Wahyu dan Jagger memalingkan wajah mereka.

“Sudahlah biarkan mereka. Kita kekantin yuk, aku traktik.” Ajak Okta.

“Wahh yang bener? Ayo.” Ucap Shani dengan antusias.

“Oyy apa hanya Shani saja yang di traktir?” Tanya Jagger.

“Tentu saja, dia kan jarang berada disini.” Ucap Okta lalu pergi bersama Shani meninggalkan kami.

“Yang benar saja.” Ucapku.

“Oy kalian jangan lupa dukung aku. Sebentar lagi final futsal akan dimulai.” Ucap Wahyu.

“Tidak mau. Kau dukung sendiri saja dirimu.” Ucap Jagger lalu pergi.

“Apa!!” Ucap Wahyu dengan emosi, aku menahannya.

“Sudahlah.” Ucapku sambil menahan Wahyu yang mau mengejar Jagger.

“Brengsek.” Ucap Wahyu.

“Tenangkan dirimu Wahyu.” Ucapku menenangkan.

Friday, October 21, 2016

Langit Biru Bagian 16



#Flashback

*Jagger POV

Hari yang membosankan bagi seorang pelajar sepertiku akhirnya dimulai, aku berangkat dari rumah lumayan pagi sekali, aku juga tidak tau kenapa aku mau berangkat pagi. Tidak seperti biasanya. Setelah sampai dikelas, aku langsung memasang earphone ditelingaku menikmati lagu-lagu yang kusuka sambil menunggu semua temanku datang. Tidak berselang lama aku melihat Okta sedang berdiri didekat pintu kelasku. Aku mencabut earphone yang ada ditelingaku lalu menghampirinya, tunggu… ada yang aneh dengannya.

“Jagger.” Ucap Okta dengan lirih. Aku mendekatinya, kulihat wajahnya seperti tidak bersemangat.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” Tanyaku yang benar-benar penasaran dengan keadaan Okta saat ini. Dia tidak menjawab pertanyaanku, bahu nya terlihat bergetar. Menangis… dia menangis. Tanpa sadar dia langsung memelukku. Siapa? Siapa yang berani membuat Okta menangis seperti ini. Dia menangis sejadi-jadinya, untungnya dikelasku belum ada siapa-siapa. Aku kesal pada diriku sendiri, kenapa aku tidak bisa terus menerus melindungi senyumannya?

Agar situasi tenang, aku mengajak Okta kehalaman sekolah didekat lapang basket, aku pikir disana akan lebih enak untuk mengobrol. Dan juga sekolah masih belum terlalu ramai karena masih pagi.

“Kau mau bercerita?” Tanyaku langsung ke inti permasalahannya. Dia hanya mengangguk. Aku tidak terlalu memaksanya untuk bercerita, tapi baru kali ini aku penasaran dengan kejadian yang menimpa Okta. Baru kali ini juga aku baru melihat dia menangis sekencang itu.

“Ini tentang Kido.” Ucapnya. Kido? Kalau tidak salah itu adalah laki-laki yang disukai Okta.

“Ada apa dengannya?” Tanyaku.

“Dia, sepertinya dia menyukai Shani. Dan sepertinya Shani juga menyukainya.” Ucapnya. Ha? Apa maksudnya.

“Shani? Bukankah dulu dia teman sekelasmu?” Tanyaku. Dia hanya mengangguk.

“Kenapa kau berfikir kalau Kido itu menyukai Shani atau sebaliknya?” Tanyaku lagi.

“Soalnya aku sering lihat mereka pulang bareng terus ngobrol bareng. Dan kudengar rumah mereka dekat, jadi itu mungkin terjadi kan?” Ucapnya dengan lesu.

“Begitu ya.” Ucapku, aku bingung harus berkata apa lagi padanya disaat seperti ini.

“Apalagi yang menguatkan pendapatmu kalau Shani itu menyukai Kido?” Tanyaku.

“Memang tidak secara langsung sih, tapi Shani pernah bilang padaku kalau dia sedang mengagumi seseorang disekolah ini. Dan dia bilang akan menunggunya hingga dewasa nanti, karena saat ini orang yang dia kagumi masih belum cukup dewasa untuk bersama dengannya.” Ucapnya dengan suara yang lumayan pelan. Aku sedikit bingung dengan perkataannya.

“Bukankah itu sama dengan dia ingin berpacaran dengan seseorang yang lebih dewasa darinya? Apa Kido termasuk dalam hal itu?” Tanyaku.

“Kalau itu aku tidak tau, mungkin hanya Shani sendirilah yang mengetahuinya. Aku tidak tau siapa yang dia maksud. Tapi dari sikap dan caranya memandang Kido itu berbeda ketika dia memandang laki-laki lain. Aku tau betul itu.” Ucapnya dengan yakin.

“Lalu apa yang akan kau lakukan? Tetap mengejar Kido atau melakukan hal lain?” Tanyaku.

“Aku tidak tau.” Ucapnya dengan lesu. Ampuunn.

#Flashback end

*Kido POV

“Apa?” Ucapku yang terkejut mendengarnya. Dari tadi Jagger bercerita sambil berjalan, dan sekarang kami berhenti tepat di depan toko kue.

“Iya, dia mengira kalau Shani itu menyukaimu.” Ucapnya. Dari penjelasan Jagger, itu artinya ada dua orang yang mengira kalau Shani itu menyukaiku. Pertama Wahyu dan sekarang Okta. Apa maksudnya? Kenapa mereka berdua berfikiran seperti itu?

“Merepotkan sekali. Kenapa dia bisa mengambil kesimpulan begitu?” Tanyaku.

“Aku juga tidak tau. Tapi menurutku, yang dikatakan Okta sepertinya ada benarnya juga. Aku memang tidak mengenal Shani, tapi sekali kali aku juga suka melihat kalian bertiga jalan bersama.” Ucap Jagger.

“Ohh ayolah, itu kan hanya pulang bareng. Siapapun bisa melakukan itu.” Ucapku.

“Tapi sorot matanya itu benar-benar terlihat Kido. Dia memang menyukaimu.” Ucap Jagger.

“Dia benar. Sudah kubilang kan kalau Shani itu menyukaimu, bukan aku.” Ucap seseorang yang baru keluar dari toko kue itu.

“Wahyu? Sedang apa kau disini? Dan pernyataan itu lagi.” Ucapku pada Wahyu.

“Ohh aku mengerti. Ternyata kau juga suka perempuan ya.” Ucap Jagger melirik Wahyu.

“Apa kau bilang!!” Ucap Wahyu sambil berjalan mendekat ke Jagger

“Sudahlah hentikan kalian berdua.” Ucapku sambil berusaha memisahkan mereka.

“Cihh.. dengar Kido. Kau harus segera putuskan langkahmu selanjutnya. Beri Shani kepastian, jangan ragu-ragu ketika sedang memutuskan sesuatu atau kau akan menyesal seumur hidupmu nantinya.” Ucap Wahyu lalu berjalan pergi meninggalkan kami berdua.

“Baiklah, aku mengerti. Mungkin.” Ucapku.

“Haahhh.. Wanita memang kadang sulit untuk dimengerti ya?” Ucap jagger.

“Ya. Tapi asal kau tahu, hidup tidak akan berwarna jika kita tidak menemukan sesuatu yang sulit untuk dilewati.” Ucapku.

“Kata-kata yang bagus.” Ucap Jagger. Kami lalu melanjutkan jalan kami.

“Ngomong ngomong dimana rumahmu?” Tanyaku.

“Kita melewati persimpangan yang sama.” Ucapnya.

“Benarkah? Aku baru tau.” Ucapku.

“Wajar saja, aku jarang berinteraksi dengan orang sekitar.” Ucapnya. Kita akhirnya telah sampai dipersimpangan dekat rumahku.

“Itu rumahku.” Ucapku sambil menunjukan rumah tempat tinggalku.

“Begitu. Sekali-kali aku akan berkunjung kesana.” Ucapnya.

“Ya. Datanglah kapanpun kau suka.” Ucapku. Jagger lalu berjalan pergi ke rumahnya. Kita memang melewati persimpangan yang sama tapi disana kita berpisah, Rumah Jagger berada di Selatan sedangkan rumahku di arah Utara. Jadi benar-benar berbeda.

Malam hari yang hening, aku sedang tiduran dikamarku. Aku masih memikirkan tentang pernyataan Okta dan Wahyu yang mengatakan bahwa Shani itu menyukaiku. Munafik kalau aku bilang tidak senang dengan pernyataan mereka berdua. Aku senang mendengar kalau Shani itu menyukaiku. Tapi aku hanya tidak mau berekspektasi tinggi, aku tidak mau terlalu baper mendengar itu. Aku akan percaya seratus persen kalau Shani sendiri yang bilang kalau dia memang menyukaiku.

“Kido!! Ayo kemari. Lihat siapa yang datang.” Teriak Ibuku.

“Datang? Kak Ve!!” Ucapku senang. Begitu ya, akhirnya kak Ve pulang juga. Aku benar-benar merindukannya. Aku langsung bergegas turun dari ranjangku dan sedikit berlari ke ruang tamu. Namun.

“Shani?” Ucapku sambil berdiri mematung. Kaget? Pasti. Aku mengira yang datang itu kak Ve, tapi ternyata seseorang yang sangat aku rindukan sangat lama. Shani tersenyum padaku. sudah lama sekali aku tidak melihat senyuman khasnya itu.

“Ibu akan mengambil minuman dulu. “ Ucap Ibuku lalu pergi ke dapur.

“Hai Kido. Gimana kabarmu?” Tanyanya. Sungguh? Apa ini beneran Shani?

“Ahh aku baik. Kau sendiri?” Jawabku yang sedikit gugup. Dia terlihat sedikit berisi dari sebelumnya. Dan tentunya makin cantik. Uuwhh

“Aku baik juga kok. Kenapa? Kok sampe segitunya melihatku? Apa ada yang berubah?” Tanyanya sambil melihat-lihat tubuhnya.

“Ahh tidak-tidak. Maaf aku tidak sopan.” Ucapku. Duhh gimana ini.

“Silahkan duduk Shan.” Ucapku mempersilahkannya duduk. Shani menurut dan langsung duduk. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Suasana yang aku benci terjadi disini. Hening. Semuanya hening.
.
.
.
.
“Sekolah kamu lancar Shani?” Tanya Ibuku sambil membawa minuman lalu meletakannya dimeja dekat Shani.

“Iya bu. Lancar Alhamdulillah.” Jawab Shani.

“Baguslah. Ibu senang mendengarnya.” Ucap Ibuku.

“Iya bu.” Ucap Shani.

“Ya sudah. Kalian mengobrol lah yang banyak. Ibu tinggal dulu.” Ucap Ibuku.

“Ohh iya Kido. Sepertinya kakakmu juga akan tiba sebentar lagi. Jadi dia bisa berkenalan dengan Shani.” Lanjut Ibuku laluu pergi.

“Ehh? Kakak?” Ucapku yang kaget mendengarnya. Kenapa momennya pas sekali dengan kedatangan Shani kesini.

“Benarkah? Aku tidak sabar menunggu kakakmu.” Ucapnya.

“Yahh. Tunggu saja. Aku yakin kau juga pasti akan menyukainya.” Ucapku. Dia hanya tersenyum.

“Ohh iya kau sudah memberitahu Wahyu kalau kau ada disini?” Tanyaku.

“Tidak. Aku tidak memberitahunya.” Ucapnya.

“Begitu. Kalau begitu biar ku telpon. Dia pasti sangat senang mendengar kabar ini.” Ucapku sambil mengambil ponsel yang ada disaku ku lalu menekan beberapa tombol dan mendekatkannya ketelingaku.

“Ada apa kau menelpon ku?” Ucap Wahyu.

“Oi kerumahku sekarang juga. Cepat.” Ucapku.

“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti.” Tanyanya.

“Sudahlah jangan banyak bicara. Datanglah kerumahku sekarang juga. Ada yang spesial disini?” Ucapku.

“Spesial? Martabak?” Tanyanya.

“Bukan bodoh. Shani. Dia sekarang sedang dirumahku. Jadi cepatlah kemari dan temui dia. Aku tau kau sudah sangat rindu padanya.” Ucapku.

“Hee? Benarkah? Yosh, aku akan segera kesana. Tunggu.” Ucapnya.

“Yosh.” Ucapku lalu menekan beberapa tombol dan kembali memasukan hanphoneku kedalam saku.

“Gimana keadaannya?” Tanya Shani.

“Hmm. Ohh Wahyu. Dia baik-baik saja, jangan khawatir.” Ucapku

“Begitu ya, syukurlah.” Ucap Shani. Aku tidak sabar menunggu kedatangan Wahyu dan reaksi seperti apa yang akan dia lakukan.

Teng tong

Aneh sekali. Siapa yang membunyikan bel? Wahyu? Tidak mungkin. Dia baru saja aku telpon dan mungkin sedang bersiap. Mustahil rasanya kalau Wahyu yang menekan bel itu.

Friday, October 14, 2016

Langit Biru Bagian 15

6 bulan kemudian. Aku telah selesai menjalani UAS semester ganjil, dan saat ini disekolah sedang ada acara class meeting. Yang dimana semua siswa baik dari kelas 1 sampai kelas 3 wajib mengikuti serangkaian lomba olahraga yang diselenggarakan oleh OSIS. Aku tidak terlalu ahli namun tidak terlalu buruk juga jika mengikuti salah satu lomba tersebut. Misalnya pertandingan futsal, voli, basket, bulutangkis maupun tennis meja. Bisa dibilang skill ku rata-rata disetiap bidang. Maka dari itu aku tidak pernah memasang target juara di bidang olahraga manapun pada saat class meeting. Acara ini diadakan hanya 3 hari.

Di hari kedua class meeting Jam 12 siang, aku dan Wahyu pergi kekantin untuk makan siang. Bagaimanapun juga sangat melelahkan mengikuti kegiatan ini dari pagi sampai siang hari menurutku. Beda dengan Wahyu, staminanya benar benar luar biasa. Dia bahkan tidak terlihat lelah sama sekali.

“Ada apa? Kenapa kelasmu kalah melawan kelas satu? Padahal aku pikir kelas kita akan bertanding di final futsal putra.” Tanyanya.

“Tidak ada apa-apa, memang anak kelas satunya yang memiliki kemampuan diatas kami kelas 2B. lagi pula kami berhasil masuk 4 besar, bukan prestasi yang buruk juga kan?” Ucapku sambil meminum minuman yang sudah dipesan.

“Kau ini selalu saja terlihat lembek. Di cabang Voli, Bulutangkis dan Basket pun kelasmu kalah di 4 besar juga. Itu artinya tidak ada perwakilan kelasmu yang bertanding di final besok.” Ucapnya.

“Iya aku tau itu. Sudahlah tidak perlu dipermasalahkan lagi. Kalah tetap saja kalah, aku tidak mau depresi berat hanya karena kalah di semifinal class meeting di sekolah.” Ucapku. Wahyu hanya diam saja.

“Haaaahh baiklah, susah memang.” Ucapnya, aku sedikit kesal dengan nada bicaranya.

“Apa!!” Ucapku dengan nada sedikit keras.

“Ohh iya, kau masih berkomunikasi dengan Shani?” Tanyanya. Hah? Kenapa dia bertanya itu.

“Yah, tapi jarang.” Jawabku.

“Begitu ya. Sudah 6 bulan kita tidak bertemu dengannya. Dia pasti sudah bertambah tinggi dan cantik yah.” Ucapnya sambil melihat langit.

“Yah kau benar. Tidak terasa sekali sudah 6 bulan.” Ucapku sambil meminum minumanku.

“KIDO!!” Seseorang menepuk pundakku. Sontak air minum yang aku minum tersembur kearah Wahyu semua. Wahyu terlihat kesal dengan orang dibelakangku.

“Eehhh? Maaf maaf.” Ucap orang itu yang tidak lain adalah Jagger.

“Apa yang kau lakukan brengsek.” Ucap Wahyu lalu berdiri dan langsung menarik kerah Jagger. Jagger terlihat panik dan berusaha menenangkan Wahyu. Aku hanya menepuk nepuk dadaku. Sialan!! Aku pikir aku akan mati.

“Ahh ayolah Wahyu, aku kan cuma bercanda. Kau tidak usah seserius itu yah?” Bujuknya. Sebenarnya Wahyu dan Jagger itu satu kelas, pertama kali aku tau soal itu ketika selalu melihat Jagger dan Wahyu selalu bersama-sama, baik dikantin maupun dikelas. Wahyu juga sudah bercerita padaku kalau Jagger itu memang berpacaran dengan Okta. Gadis yang keberadaanya tidak dianggap olehku. Jahatnya atuh. Tapi ya begini, setiap mereka bertemu selalu saja ada masalah yang timbul dan membuat mereka berselisih.

“Berisik!! Bercandamu sudah keterlaluan brengsek, biar kuhabisi kau sekarang juga.” Ucap Wahyu lalu mengepalkan tangannya bersiap untuk memukul.

“Tidaaakk!! Tolongg!!” Teriak Jagger yang membuat seluruh siswa dikantin memperhatikannya, ya meskipun dengan kejadian sebelumnya mengundang perhatian semua orang untuk melihat kemari.

“Hentikan Wahyu. Sudah cukup.” Ucapku sambil melerai mereka berdua. Wahyu kemudian melepaskan kerah Jagger.

“Syukurlah. Kukira aku akan mati seketika.” Ucap Jagger yang terlihat sangat lesu. Wahyu lalu pergi.

“Aku akan berganti pakaian. Kau kembali saja ke lapangan sekolah.” Ucap Wahyu padaku. “Dan untukmu brengsek. Sekali lagi kau berbuat hal yang memalukan, tidak ada tempat untuk bersembunyi. Camkan itu.” Lanjut Wahyu dengan nada yang terdengar jelas sangat emosi. Jagger terlihat begitu tenang.

“Berisik kau otak udang.” Ledek Jagger.

“Apa!!” Ucap Wahyu dengan sangat emosi.

“Hey sudah hentikan kalian.” Ucapku sambil menahan mereka berdua ditengah tengah.

“Kenapa? Kalau kau berani sini.” Ucap Jagger yang kembali memprovokasi.

“Sialan kau!!” Ucap Wahyu, dia sekuat tenaga mendorongku dan ingin memukul Jagger tapi….

“Sakiittt!!” Ucap Jagger sambil memegang telinga kanannya yang dicubit oleh seseorang.

“Hee?” Kulihat Okta sedang memegang telinga Jagger dengan sangat keras. Wahyu juga emosinya sudah menurun. Syukurlah dia menyelamatkan kami kali ini.

“Apa yang kamu lakukan ditempat ini?” Tanya Okta yang masih dengan posisi yang sama.

“Anu.. anu.. Sakit Okta, tolong lepaskan telingaku.” Rengek Jagger.

“Diamlah, ayo ikut aku.” Ucap Okta lalu menyeretnya pergi dengan tangan masih memegang telinga Jagger dengan kuat.

“Baik.. baik..” Ucap Jagger tidak melawan.  Mereka entah pergi kemana.

“Dasar penakut! Sama wanita saja dia selemah itu.” Ucap Wahyu.

“Kau benar.” Ucapku yang setuju dengan pendapat Wahyu.

“Aku akan ke kamar kecil dulu untuk membersihkan dan mengganti pakaianku ini. Kau kembali saja melihat pertunjukan yang akan dimulai sebentar lagi.” Saran Wahyu lalu berjalan pergi.

“Tentu.” Ucapku lalu berjalan menuju aula sekolah yang rencananya aka nada beberapa esktrakulikuler yang akan tampil untuk menghibur semua siswa yang datang.

Sesampainya disana aku terkejut, ternyata sudah banyak juga yang datang kesini. Gawat! Aku harus segera masuk kedalam aula, Paling tidak aku harus dapat tempat duduk didalam untuk menikmati hiburannya. Setelah berjuang keras untuk masuk kedalam aula, akhirnya aku berhasil mendapatkan tempat duduk kosong, yahh meskipun tidak terlalu depan tapi jaraknya sudah lumayan cukup untuk menonton pertunjukannya.

“Jangan seperti itu. Ayolah maafkan aku atas kejadian tadi. Aku janji nggak akan ngulangin lagi. Janji.” Ucap seseorang disampingku yang sepertinya sedang berbicara dengan seseorang disampingnya lagi. Aku merasa mengenal suara ini. Tapi siapa? Aku lalu menengok kearah kiriku, dan ternyata memang benar. Aku mengenalnya. Jagger.

“Yah Okta.. maafkan aku.” Ucap Jagger sambil terus memohon maaf pada orang disampingnya, tidak lain dan tidak bukan adalah Okta.

“Jagger?” Ucapku. Jagger kemudian langsung menengok kearah ku.

“Hee? Kido rupanya. Kau datang untuk menonton juga.?” Tanyanya. Aku mengangguk kecil lalu sedikit melirik kearah Okta.

“Apa persoalan tadi masih belum selesai?” Tanyaku.

“Sepertinya begitu.” Ucap Jagger dengan wajah yang lesu lalu menengok kearah Okta.

“Hee? Kasian sekali.” Ucapku.

“Jangan bilang begitu, harusnya kau membantuku agar masalahnya cepat selesai.” Pinta Jagger.

“Tidak, itu tidak mungkin. Bagaimana aku bisa membantumu sedangkan aku sendiri tidak terlalu akrab dengannya.” Ucapku. Dia terlihat murung.

“Haaa, apa benar kalian ini satu kelas.” Keluh Jagger.

Pertunjukan hiburannya sudah selesai, waktu menunjukan sudah sore, aku keluar aula itu bersama dengan Jagger dan Okta. Kulihat langit sedikit mendung, pertanda akan hujan.

“Apa yang akan kau lakukan selanjutnya Kido?” Tanya Jagger.

“Aku? Sepertinya langsung pulang saja, lagi pula sudah sore. Kau sendiri?” Tanyaku.

“Ohh itu…” Ucapnya tergagap sambil sesekali melirik Okta. Kenapa dengannya?

“Kalau Okta. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” Tanyaku pada Okta. Dia hanya melihatku dengan tatapan tidak suka, kemudian pergi meninggalkan kami.

“Ehh? Ada apa dengannya? Apa dia masih kesal karena pernah tidak kusadari kalau kita satu kelas?” Ucapku. Jagger hanya menunduk, dia seperti ingin mengucapkan sesuatu padaku.

“Anuu.. Kido.” Ucap Jagger.

“Kenapa?” Tanyaku.

“Sejujurnya dulu, Okta menaruh perasaan padamu.” Ucap Jagger. Aku terkejut mengetahuinya.

“Kau? Apa maksudnya?” Tanyaku.

“Yah, dulu. Sejak kau pertama kali pindah ke sekolah ini kelas 1 semester 2. Okta sudah suka padamu ketika pertama kali dia melihatmu, dia sering bercerita padaku saat itu. Dia bilang kalau ada seorang laki-laki yang menaruh perhatiannya, dan itu adalah kau Kido. Dia berharap bisa lebih dekat denganmu, dia berharap agar bisa mengobrol denganmu, selama ini dia terus berusaha agar jarak antara dia denganmu tidak terlalu jauh. Dan puncaknya terjadi ketika kelas 2 semester 1. Ketika pembagian kelas baru untuk kelas 2 dan kelas 3.” Ucapnya.

“Saat itu, aku berada dikelas yang sama dengan Okta benarkan?” Tanyaku. Jagger mengangguk.

“Ya, Dia terlihat sangat senang waktu menceritakan padaku kalau dia satu kelas denganmu. Dia bilang kalau dia tidak boleh menyianyiakan kesempatan ini. Tapi….” Ucap Jagger yang kemudian terhenti. Aku hanya menunduk, betapa bodohnya aku waktu itu tidak mengenal kalau Okta satu kelas denganku. Andai saja aku sedikit jeli dengan semua teman temanku.

“Ternyata aku sejahat itu ya.” Ucapku dengan wajah menunduk.

“Selang beberapa hari setelah pertandingan sepakbola waktu itu, dia menemuiku. Aku sedikit terkejut, waktu itu dia terlihat lesu. Berbeda dari biasanya. Aku sempat bertanya padanya, tapi dia mengabaikanku. Dia langsung memelukku dengan erat…. Dan….. sambil menangis, dia..” Ucap Jagger yang juga terlihat menahan tangisannya. Apa yang sudah kulakukan? Menyakiti seorang wanita yang begitu ceria benar benar sebuah kejahatan yang tidak bisa dimaafkan begitu saja.