Tuesday, September 20, 2016

Langit Biru Bagian 12


Aku benar-benar kagum melihat rumahnya, mewah sekali. Kulihat juga sudah banyak orang yang datang kesini. Ini benar-benar pesta besar. Setelah aku dan kakakku turun dari mobil kami langsung berjalan masuk kedalam rumah itu, dan terlihat didalam ternyata lebih wow lagi. Semua perabotan, partitur, dan hiasan-hiasan yang menghiasi rumah yang lumayan besar ini cukup membuat mataku silau. Benar-benar mengagumkan. Seberapa kaya orang ini sebenarnya. Kami bergabung ditengah orang-orang yang diundang, mereka semua juga terihat modis. Keren, ganteng, cantik, seksi, semuanya. Tidak lama ada seseorang menghampiri kami, dia sangat cantik sekali. Dibaluti dengan gaun berwarna putih dan pernak-pernik yang ia gunakan ditubuhnya, benar-benar terlihat anggun dan cantik. Juga sedikit seksi. dia lalu mengobrol dengan kakakku. Yah mungkin bisa dibilang obrolan biasa, tidak lama kemudian kakakku melirik kearahku dan dia juga melirikku sambil tersenyum.

“Kido perkenalkan dia teman kakak yang ulang tahun. Namanya Evelina.” Ucap kakakku. Evelina lalu mengulurkan tangannya. Dengan sigap aku langsung menerima uluran tangannya.

“Hallo.. Evelina. Nice to meet you.” Ucapnya.

“Hai. Kido, Nice to meet you to, and by the way Happy birthday.” Ucapku yang masih agak kaku berbicara dengan bahasa Inggris.

“Thanks Kido. And enjoy the party.” Ucapnya.

“Of course.” Ucapku. Dia hanya tersenyum lalu kembali berbicara dengan kakakku, setelah itu dia pergi menemui tamu undangan yang lainnya.

“Bisa juga bahasa Inggris.” Ledek kak Ve.

“Berisik, aku juga sedang berusaha untuk tidak mempermalukan kakak.” Ucapku.

“Iya iya, yasudah yuk kita ambil beberapa hidangan makanan yang sudah dihidangkan.” Ajaknya. Aku mengikuti kakakku dibelakangnya, sekilas dari semua tamu itu aku seperti melihat seorang gadis yang sangat membuatku malu didepan kakakku sendiri. Ya siapa lagi, Sinka Juliani. Ahh mungkin hanya imajinasiku saja.

Acara inti dari pesta itu sudah selesai dilaksanakan, sekarang hanya bersantai sambil mengobrol biasa. Aku mengambil segelas minuman yang tersedia lalu pergi ke taman jadi-jadian dibelakang rumah itu. Aku duduk sambil menikmati indahnya malam dan nikmatnya pesta yang baru aku ikuti ini. Ponselku berdering, kulihat telpon dari Shani. Aku sedikit terkejut. Setelah perpisahan kami waktu itu, aku belum berhubungan dengannya lagi. Aku menekan tombol jawab diponselku lalu kudekatkan ketelingaku.

“Hallo Shani.” Ucapku memulai pembicaraan kami.

“Hai, gimana kabarmu Kido?” Tanyanya. Aku diam sejenak.

“Bagaimana ya. Semenjak kepergianmu sepertinya tidak terlalu baik.” Ucapku.

“Benarkah?” Ucapnya yang terdengar sedikit murung. Suasana menjadi hening sejenak.

“Oi, tidak tidak. Aku tidak bermaksud….. Maksudku, hanya ada perbedaan saja dalam hidupku ketika tidak ada kamu disini.” Ucapku yang berusaha menenangkannya.

“Maaf Kido, aku membuatmu jadi seperti ini.” Ucapnya dengan nada yang sama.

“Shani cukup. Berhentilah bersikap seperti itu. Meski begitu kita sudah janji akan bertemu lagi kan? Jadi jangan khawatir.” Ucapku.

“Baiklah.” Ucapnya.

“Bagaimana keadaanmu disana? Tentunya kau juga akan pindah sekolah kan?” Tanyaku.

“Aku sehat sehat saja disini. Iya, aku dan Ibu sedang mengurus kepindahanku ke sekolah baru.” Ucapnya.

“Begitu ya, syukurlah.” Ucapku. Terdengar suara langkah kaki yang mengarah kearahku. Ak menengoknya. Terkejut!! Ternyata kak Ve. Dia langsung mengambil ponsel yang sedang aku pegang lalu mendekatkan ketelinganya.

“Hallo, dengan siapa ini?” Tanyanya ditelpon itu. Celaka!! Kenapa juga disaat saat aku dan Shani akan mengobrol panjang. Sosok malaikat hitam ini datang begitu saja.

“Oi, kak Ve kembalikan!!” Ucapku sambil berusaha mengambil ponselku yang sedang menempel ditelinganya. Tapi kak Ve justru semakin kuat dan bersikukuh tidak mau mengembalikannya. Sial!!

“Ohh Shani. Aku baru tau, apa Kido ini pacarmu?” Pertanyaan macam apa itu??? Aku benar-benar sudah kesal dan pasrah dengan apa yang terjadi nantinya.

“Kak Ve, kumohon jangan bicara macam-macam dengannya.” Pintaku dengan wajah yang benar-benar memohon.

“Ya, perkenalkan, aku Jessica Veranda. Kakaknya Kido, aku harap selama dia menjadi pacarmu dia tidak merepotkanmu.” Ucapnya. PACAR APANYA!! Ngaco. Kak Ve benar-benar sedang ngaco. Bagaimanapun aku harus segera merebut ponselku darinya. Tapi tetap saja aku tidak bisa melakukannya. Sial!!

“Tetap disini ada yang harus kakak bicarakan dengannya.” Ucap kak Ve lalu berjalan menjauhiku. Apa yang dia rencanakan, kenapa juga harus menjauhiku. Perasaanku benar-benar tidak karuan. Semoga saja kak Ve tidak bicara macam-macam dengan Shani.

Sudah 5 menit berlalu dan kak Ve masih tetap berdiri diposisinya. Aku sudah tidak tahan lagi, aku menghampirinya.

“Baiklah, senang bisa mengobrol denganmu Shani. Aku jadi ingin bertemu denganmu.” Ucap kak Ve. Aku mengerenyitkan keningku, sepertinya pembicaraan mereka sudah mencapai tahap akhir.

“Dahh. Jaga dirimu.” Ucap Kak Ve, lalu memberikan ponselnya kepadaku.

“Umm.. Apa saja yang sudah dibicarakan dengannya?” Tanyaku yang sangat penasaran dengan percakapan tadi. Kak Ve lalu berjalan melewatiku dan mengarah ke tempat duduk panjang lalu duduk disana. Aku mengikutinya lalu berdiri dibelakangnya.

“Siapa Shani? Dia menceritakan banyak hal tentangmu. Apa dia juga salah satu teman disekolah barumu?” Tanya kak Ve.

“Iya, dia adalah teman baruku. Selain itu, sebenarnya hal yang ingin kuceritakan pada Kakak tempo hari adalah mengenainya.” Ucapku.

“Kau meyukainya?” Tanya kakakku yang membuat aku tidak bisa menjawab begitu saja.

“A-aku tidak tau.” Ucapku. Kak Ve lalu mengembuskan nafasnya dengan kuat.

“Apa. Ternyata bukan hanya aku saja yang sedang galau. Kau juga demikian rupanya.” Ucapnya. Aku lalu mengambil posisi duduk disampingnya.

“Sejujurnya, aku memang menyukainya.” Ucapku. Kak Ve lalu melirikku.

“Lalu? Kau sudah memberitahunya?” Tanya kak Ve.

“Mana mungkin semudah itu.!!” Ucapku dengan kesal. Kak Ve hanya tersenyum.

“Jadi masih disembunyikan rupanya.” Ucapnya.

“Selain itu, Wahyu juga menyukai Shani. Sangat menyukainya.” Ucapku.

“Siapa Wahyu? Teman barumu juga?” Tanyanya.

“Yah bisa dibilang begitu. Diantara semua teman-teman disekolah, aku paling dekat dengannya.” Ucapku. Tangan kak Ve lalu memegang rambutku dan sedikit mengacak-ngacaknya.

“Jangan lakukan itu, aku tidak suka.” Ucapku sambil menyingkirkan tangannya dari kepalaku.

“Jadi bersaing dengan sahabat dekat rupanya. Posisimu benar-benar cukup rumit Kido.” Ledeknya. Aku menatap kak Ve tajam.

“Jadi. Ada saran?” Tanyaku.

“Hmm.. gimana ya.” Ucapnya sambil berdehem dan melipatkan kedua lengannya didepan dada.

“Jika memang tidak ada biar aku sendiri yang menyelesaikannya.” Ucapku.

“Kalau begitu, apa rencanamu kedepannya? Memberitahu Shani kalau kau suka padanya, atau membiarkan Wahyu dan Shani lebih dekat?” Tanyanya. Aku hanya terdiam mendengar pertanyaan kak Ve. Benar juga, cepat atau lambat pilihan itu pasti akan datang. Kecuali kalau Shani punya teman dekat yang baru. Aku hanya berdehem.

“Entahlah. Aku pikir, mungkin saat ini aku masih belum pantas untuk memikirkan itu semua.” Ucapku.

“Hee? Lalu kenapa kau menyukainya?” Tanya kak Ve lagi. Aku memegang kepalaku, sodoran pertanyaan yang bertubi-tubi dari kak Ve membuatku sedikit pusing.

“Sudahlah, jangan bahas terlalu banyak. Aku mulai pusing. Lihat nanti saja ketika aku sudah benar-benar dewasa.” Ucapku lalu pergi meninggalkan kak Ve sendirian ditempat itu.

Ketika aku menuju ruang utama pesta untuk mengambil beberapa makanan, tidak sengaja aku menabrak seseorang. Minuman yang dipegang olehnya pun sedikit tumpah ke pakaianku.

“Sorry.” Ucapnya dengan gugup lalu mengelap bajuku dengan tisu yang dia ambil sambil tergesa-gesa didekat sana. Setelah aku perhatikan dengan baik, DIA!!

“S-S-Sinka?” Ucapku tergagap. Sontak dia langsung menoleh dan membuat wajahnya terlihat jelas dimataku. Memang benar, tidak salah lagi. Dia Sinka Juliani.

“Lo? Cowok brengsek, mesum, tidak punya malu, dan masa depan suram.” Ejeknya. Oi oi, apa aku seburuk itu dimatanya? Dasar!!

“Apa!! Berhenti mengejekku seperti itu. Dasar!! Bagaimana mungkin kau bersikap seperti itu pada seseorang yang ketumpahan minumanmu.” Ucapku.

“Cerewet sekali. Salah lo sendiri jalan ngga liat kedepan.” Ucapnya. Yang benar saja, dia yang menabrak tapi aku yang disalahkan. Semua orang disana memperhatikan kami, Evelina dan kak Ve juga mendekati kami

“Apa yang terjadi kenapa kalian ribut sekali?” Tanya kak Ve padaku.

“Tidak. Hanya ketumpahan minuman.” Ucapku. Kulihat juga sepertinya Evelina meminta penjelasan pada Sinka. Sesaat kemudian dia mengangguk dan tersenyum. Kak Ve lalu menghampiri Evelina. Sepertinya dia akan mengucapkan maaf karena aku telah membuat sedikit keributan diacaranya. Sepertinya Evelina memakluminya, dia lalu tersenyum padaku lalu pergi kembali bersama teman-temannya. Sinka juga langsung beranjak pergi. Kak Ve lalu melirik ke arahku.

“Maaf, itu hanya kecelakaan.” Ucapku dengan wajah penuh memohon.

“Tidak apa-apa. Asalkan kau baik-baik saja kakak sudah senang.” Ucapnya. Aku hanya tersenyum.

Setelah malam itu dilalui dengan bersenang-senang, ya. Mungkin. Kami langsung pulang. Keesokan harinya aku melihat kak Ve sedang melamun sendirian diatap apartemen. Sepertinya dia masih memikirkan Ayah. Atau dia sedang memikirkan Shinji? Entahlah. Aku berjalan mendekati kakakku, sepertinya dia juga menyadari kedatanganku.

“Sampai kapan kau akan melamun seperti itu?” Tanyaku yang sudah berada disampingnya. Dia tidak mengeluarkan sepatah katapun.

“Lusa kami akan kembali ke Indonesia, berada di negeri orang benar-benar suatu pengalaman yang menarik.” Ucapku, kak Ve lalu melirikku.

“Kalian sudah mau pulang lagi?” Tanyanya dengan ekspresi yang sedih.

“Tentu saja. Terlalu lama disini bisa membuatku stress, apalagi soal bahasa. Lagipula, masih banyak hal yang harus dilakukan di Indonesia.” Ucapku. Raut wajah kak Ve mulai berubah yang tadinya cemberut sekarang sudah mulai tersenyum.

“Kakak jangan terlalu lama disini, entar otaknya jadi ga beres karena keseringan berkomunikasi pake B. Inggris.” Ledekku.

“Ehh sembarangan, emang kamu pikir bahasa Inggris ngebuat orang jadi ngga beres?” Ucapnya yang mulai sedikit ceria.

“Hahaha maaf maaf.” Ucapku.

“Dan tumben banget manggil kakak dengan sebutan ‘kakak’. Biasanya ‘kau’ atau kak Ve.” Tanyanya dengan tersenyum jahil.

“Berisik, mood ku sedang bagus hari ini. Jadi jangan berpikiran macam-macam.” Ucapku. Kak Ve hanya tersenyum.

Waktu kepulangan kami akhirnya tiba, aku dan ibu sudah berkemas dan bersiap untuk pulang kembali ke Indonesia. Kami berpamitan dengan kak Ve di depan apartemennya sambil menunggu taksi.

“Ibu aku bakalan kangen banget sama ibu.” Ucap kak Ve sambil berpelukan dengan Ibu.

“Ibu juga. Jaga dirimu baik-baik yah.” Ucap ibuku.

“Iya, aku janji 6 bulan lagi pasti pulang.” Ucapnya sambil melepaskan pelukannya. Aku hanya tersenyum. Kak Ve lalu melirikku.

“Aku tunggu kakak di Indonesia.” Ucapku. Kak Ve langsung memelukku dengan erat, apakah ini hanya perasaanku atau kak Ve memang menangis?

“Apa ini? Ini bukan perpisahan kau tau.” Ucapku dengan nada sedikit lebih rendah.

“Iya kakak tau.” Kak Ve lalu melepaskan pelukannya dan mengelap air mata yang sedikit jatuh  dari matanya.

Aku dan Ibu lalu masuk ke mobil yang sudah menunggu kami, aku membuka kaca jendelanya lalu melambaikan tangan pada kakakku. Kakakku hanya tersenyum dan membalas lambaian tanganku. Mobil perlahan mulai melaju, aku lalu bersandar dan melihat pemandangan Las Vegas untuk terakhir kalinya sebelum aku pulang. Sungguh liburan yang menyenangkan, pikirku.

Langit Biru Bagian 11


Pagi hari yang indah di Nevada kota Las Vegas. Aku sudah bangun dan sedang menikmati udara segar diatas gedung apartemen. Memang tidak terlalu segar karena udara disini sudah tercampur dengan asap knalpot berbagai macam kendaraan. Tapi mau bagaimana lagi, nikmati sajalah. Di suasana seperti ini aku jadi kepikiran Shani. Bagaimana keadaannya, dimana dia tinggal sekarang, apa dia sedang tersenyum atau sedang bersedih. Ya ampun, aku harap bisa bertemu dengannya lagi. Kudengar pintu yang menghubungkan atap ini dengan lantai dibawahnya terbuka. Aku menoleh ternyata itu kak Ve. Ya ampun, wajahnya masih tetap murung seperti kemarin malam. Dia berjalan lalu berdiri disampingku.

“Masih memikirkan kejadian kemarin malam?” Tanyaku yang membuka percakapan. Dia tidak menjawab, hanya menghembuskan nafasnya lalu memajukan bibir kecilnya.

“Jangan khawatir, Ayah itu kuat. Dia pasti baik-baik saja. Lagipula kalau memang si pembunuh itu mengincar Ayah, justru aku malah kasihan sama si pembunuhnya. Mereka tidak akan bertahan lama jika harus melawan Ayah. Percayalah, dia pasti akan menepati janjinya.” Ucapku. Semoga bisa sedikit menenangkan perasaan kak Ve.

“Iya, semoga saja.” Ucapnya lalu berusaha tersenyum. Tentu saja aku tau senyumnya itu tidaklah tulus seperti biasanya, biarlah. Mungkin butuh waktu untuknya agar perasaan khawatirnya sedikit berkurang.

“Nahh gitu. Kan kalo senyum jadinya cantik.” Godaku.

“Apaan sih.” Ucapnya lalu meninju lenganku dengan pelan.

“Ohh iya nanti malam kakak ada undangan pesta ulang tahun. Kamu ikut yah.” Ajaknya.

“Ulang tahun? Siapa? Yang benar saja. Tidak.” Ucapku. Aku tidak mau ikut, disana pastilah remaja-remaja Amerika yang trend dan masa kini. Kalau aku ikut. Takutnya malah mempermalukan kakakku sendiri.

“Pokoknya harus ikut titik. Kakak ga mau dengar alasan apapun.” Ucapnya lalu pergi meninggalkanku. Kakak macam apa yang memaksa adiknya pergi ke tempat yang dia tidak sukai, sepertinya itu hanya berlaku buat kak Ve seorang.

Kami tidak melakukan banyak kegiatan hari ini. Karena memang tidak ada schedule selain menghadiri pesta ulang tahun teman kakakku dikota ini.

“Kenapa masih belum ganti baju?” Ucapnya yang sedang sibuk menata rambut panjangnya.

“Aku kan sudah bilang tidak akan pergi. Kakak saja sendiri lagipula itu kan acara ulang tahun teman kakak.” Ucapku sambil malas-malasan dikasur.

“Ihh ngga. Pokoknya kamu harus ikut!! Cepetan ganti baju sana.!!” Ucapnya sambil menarik tanganku. Aku menahannya.

“Kenapa maksa sekali sih.” Ucapku kesal.

“Kamu lupa sama janji kamu ke Ayah yang katanya siap ngejagain Aku dan Ibu saat Ayah ngga ada disini? Buktikan dong!! Kalau nanti disana ada yang macam-macam sama kakak siapa yang mau ngelindungin kakak?” Ucapnya. Aku menghembuskan nafasku berat. Benar juga apa yang kak Ve bilang, aku sudah janji sama Ayah untuk menjaga kak Ve dan Ibu. Tidak etis rasanya kalau aku melanggar janji itu. Bagaimanapun aku adalah laki-laki yang selalu menepati janji.

“Baiklah baiklah, aku mengerti. Aku akan ikut bersamamu.” Ucapku lalu beranjak dari tempat tidur dan mengganti pakaianku. Baru juga aku membuka kaosku.

“Kido!!” Teriak kak Ve.

“Apa lagi?” Tanyaku kesal.

“Jangan ganti baju didepan kakakmu, sana kekamar ganti!!” Ucapnya sambil menutup wajah dengan tangannya.

“Cerewet sekali. Cuma ganti baju doang. Apa sama adik sendiri juga nafsu?” Ocehku lalu pergi kekamar ganti. Hari ini aku mengenakan kemeja dan jaket serta celana hitam, yah meski acaranya tidak terlalu formal tapi paling ngga aku harus berpakaian rapi disana. Hal yang menyebalkan yang lainnya disana nanti adalah susahnya untukku berkomunikasi. Karena aku tidak terlalu mengerti bahasa Inggris yang sering digunakan disini sehari-hari.

Kami berpamitan pada Ibu, lalu menunggu taksi yang lewat didepan apartemen. Kakakku mengenakan dress berwarna merah panjang yang membuatnya terlihat sangat anggun. Wajar saja jika nantinya banyak yang melirik kearah kak Ve karena penampilan yang cantik dan kalemnya. Taksi yang ditunggu tunggu akhirnya datang. Kami pun mulai menuju tempat yang dimaksud kak Ve.

“Siapa yang ulang tahun? Teman?” Tanyaku.

“Yah, teman baik.” Ucapnya tersenyum.

“Ohh iya mengenai tugas observasinya. Apa saja yang dilakukan sampai selama itu?” Tanyaku lagi.

“Tugas penelitiannya sudah selesai semester kemarin. Semester selanjutnya hanya melakukan persentasi dan evaluasi. Anggap saja kakak disini numpang kuliah 2 semester, karena memang kenyataannya kakak kuliah disini.” Jawabnya.

“Ohh begitu. Seperti pertukaran mahasiswa gitu?” Tanyaku lagi.

“Yah, bisa dibilang begitu. Hanya saja tidak ada mahasiswa disini yang ke Indonesia. Jadi ini bukan pertukaran, hanya belajar ditempat yang berbeda itu saja.” Jelasnya lagi.

“Lalu? Disini punya teman dekat?” Tanyaku.

“Banyaklah. Ya, meski tidak sebanyak di Indonesia tapi orang-orang disini juga ramah-ramah.” Ucapnya.

“Bukan, maksudku seseorang seperti Shinji. Apa disini kakak menemukannya?” Tanyaku lagi sambil mengangkat satu alisku. Kulihat pipinya sedikit memerah.

“Apaan sih.. jangan mulai bahas itu deh.. ganti topik ganti.” Elaknya. Aku hanya tersenyum jail.

“Hahahaha pipimu merah, kenapa? Kalau cinta bilang aja jangan malu-malu.” Ucapku menggodanya.

“Kido!!” Ucapnya sedikit teriak lalu memalingkan wajahnya. Aku cekikikan sendiri. Ternyata kak Ve punya pria idaman juga. Hanya saja mungkin aku sedikit kurang setuju kalau pria itu Shinji. Sepertinya dia orang yang mudah marah. Bertempramen tinggi, aku takut kalau suatu saat nanti kalau memang kak Ve dan Shinji menikah dan ada sedikit masalah. Kekerasan yang dia pilih untuk menyelesaikannya.

“Kak.” Ucapku.

“Apa?” Tanyanya.

“Menurut kakak. Shinji tuh orangnya seperti apa sih?” Tanyaku. Aku hanya ingin tau, seberapa jauh kakakku memandang Shinji dari keseluruhan penampilan dan etitutnya. Tentunya kakakku lebih tau akan hal itu karena mereka berada dikampus yang sama di Indonesia.

“Sudah kakak bilang, jangan bahas itu lagi.” Ucapnya.

“Tidak aku serius. Aku hanya ingin melihat penilaian kakak tentangnya. Apakah sama dengan penilaianku atau contras sangat berbeda.” Ucapku.

“Shinji? Dia orangnya baik.” Ucapnya.

“Ayolah jangan hanya baik. Itu adalah jawaban yang dipakai semua orang ketika ditanya tentang seseorang. Yang lebih spesifik. Bagaimana sikap, sifat dan karakternya.” Ucapku lagi.

“Aku tidak tau.” Ucap kak Ve.

“Tidak tau? Jangan mengatakan sesuatu yang tidak mungkin. Kau jauh lebih mengenalnya daripada aku kan? Dia bahkan sekampus denganmu. Mana mungkin kau tidak tau apa-apa tentangnya.” Ucapku kesal, yang benar saja. Kakak dan Shinji jelas satu kampus. Mustahil rasanya kalau kakak bilang tidak tau apa-apa tentang Shinji. Karena Shinji bilang padaku kalau dia sangat dekat dengan Kakakku, dia juga sempat menyatakan perasaannya pada kakakku dan menembaknya, tapi kakakku selalu saja menolaknya.

“Aku memang tidak tau. Kita memang satu kampus, tapi apa hanya karena itu aku harus tau semua sifatnya. Teman-temanku yang lain juga banyak yang dekat denganku. Tapi tidak semuanya aku tau mengenai sifat dan karakter mereka. Lagipula sepertinya Shinji itu  berbeda.” Ucap kakakku. Aku mengerenyitkan dahiku.

“Berbeda? Kenapa?” Tanyaku yang sangat penasaran.

“Dia orangnya misterius, bahkan ketika Aku bertanya pada teman dekatnya mengenai Shinji, jawaban yang kuterima hanyalah tidak tau dan tidak tau. Aku bahkan bingung dengan perasaanku sendiri. Aku ingin menerimanya, tapi bahkan aku tidak tau alasan kenapa aku harus menerimanya dikehidupanku. Aku tidak tau alasannya. Paling tidak mungkin hanya itu yang kubutuhkan untuk sedikit membuka hatiku untuknya.” Ucap kakakku.

“Bingung tentang alasan mengapa kau harus menerimannya?” Tanyaku lagi.

“Yah, kau tau kan. Aku tidak bisa begitu saja menerimanya. Harus ada alasannya dulu. Lagipula dari awal kan aku sudah bilang padamu kalau aku tidak akan pacaran dengan siapapun, aku hanya takut kehilangan pengawasanku padamu. Kau masih labil, emosimu juga masih tidak stabil. Aku hanya takut kau terperosok ke pergaulan yang salah. Paling tidak sebagai kakakmu, aku harus mengawasimu sampai kau benar-benar dewasa.” Ucapnya lirih yang benar-benar menyentuh hatiku. Tidak kusangka ternyata kak Ve berpikiran sejauh itu, dia peduli dengan kehidupanku, dia peduli dengan pergaulanku, dia peduli semua yang berkaitan tentangku. Kak Ve benar-benar kakak yang paling terbaik yang aku punya saat ini.

Aku tidak berbicara sedikitpun, sekali-kali aku menoleh kearahnya. Berat sekali kehidupannya pikirku. Mungkin dengan berlajar lebih dewasa kedepannya akan membantu meringankan beban kehidupan kak Ve. Tapi jujur, saat ini aku memang masih perlu pengawasannya.

“Terimakasih.” Ucapku. Kak ve menoleh ke arahku sambil memiringkan kepalanya.

“Jangan menangis gitu Kido.” Ucapnya.

“Aku tidak menangis asal kakak tau.” Ucapku dengan nada sedikit tinggi. Dia hanya tertawa.

“Ohh iya, aku belum menceritakan itu pada kakak.” Lanjutku.

“Menceritakan apa? Ohh yang waktu di telpon, benar juga. Apa apa sih?” Ucapnya dengan antusias. Aku mengangkat satu alisku.

“Nanti saja, sepertinya kita sudah sampai.” Ucapku sambil melihat keadaan sekitar. Kak Ve hanya memasang ekspresi cemberut, mungkin dia kesal padaku. Ya biarlah.

Wednesday, September 14, 2016

Langit Biru Bagian 10



“Aku? Aku Sinka Juliani.” Ucap wanita itu. Sinka? Baru pertama kali aku melihatnya. Dia cantik, manis juga imut. Apa lagi dengan cardigan berwarna merah muda dan celana legging yang dia pakai membuat pesonanya benar-benar terpancarkan. Apa yang kupikirkan, ngaco..

“Ohh Sinka. Aku Kido.” Ucapku. Lalu berjalan mendekatinya. Dia menatapku dengan penuh rasa takut, nafasnya mulai cepat. Bahunya terlihat bergetar. Ada apa dengannya?

“Oi kau ini kenapa? Jangan khawatir, aku tidak akan berbuat macam-macam.” Ucapku menenangkannya, karena kalau dilihat dari ekspresinya benar-benar terlihat sangat ketakutan. Seperti melihat seorang pembunuh bayaran yang siap membunuhnya dengan keji.

“Ohh iya.” Ucapnya, kulihat dia sedikit lebih tenang. Dia sudah bisa mengontrol pernapasannya. Yang benar saja, kenapa aku harus bertemu dengan orang seperti ini pikirku dalam hati.

“Kido!!” Ucap seseorang yang baru saja datang. Ternyata itu kak Ve.

“Ahh apa?” Tanyaku. Dia lalu melirik kearah wanita yang sedang bersamaku. Kak Ve tersenyum jail, jangan bilang…

“Kak Ve ini bukan seperti yang kak Ve lihat.” Ucapku dengan cepat, sebelum kak Ve menyatakan pernyataan yang tidak masuk akalnya.

“Ohh, begitu. Kau tidak pernah bilang pada kakak kalo punya kenalan wanita cantik di Las Vegas ini.” Ucap kakakku yang mulai ngaco, baiklah akan aku layani guyonannya.

“Baiklah, sepertinya memang tidak ada lagi yang harus aku rahasiakan.” Ucapku, mendengar ucapanku. Sinka dan Kak Ve terlihat benar-benar terkejut. Aku lalu merangkul Sinka, dia sedikit berontak tapi aku tidak akan melepaskannya. Maaf, hihihi.

“Jadi, kalian benar-benar berpacaran.” Tanya kakakku. Aku benar-benar puas melihat ekspresi yang ditunjukan kak Ve. Seakan tidak percaya dengan apa yang aku katakan dan lakukan didepan matanya.

“Apasih!!” Berontak Sinka lalu menamparku.

Plakk

“Jadi cowo brengsek banget sih, gue ga suka sama sikap lu.” Ucapnya sambil menunjuk-nunjuk kearahku. “Denger ya, gue bukan pacarnya. Amit-amit punya pacar kayak dia yang sok keganjenan ga jelas.” Ucapnya lagi sambil melihat kak Ve lalu dia pergi entah kemana. Aku mengusap pipiku yang ditampar wanita itu, sial!! Berani sekali dia melakukan itu. Kulihat kak Ve hanya berusaha menahan tawanya. Ini memalukan.

“Hahahaha. Kido Kido, kayaknya kamu kurang beruntung deh hari ini.” Ucap kakakku lalu kembali tertawa. Sial, memuakkan sekali. Sinka Juliani, awas saja. Dia mempermalukanku didepan kakakku sendiri, nanti aku balas kalau bertemu lagi.

“Yaahh ketawa aja teruuss. Puas lihat adiknya ditampar seorang wanita?” Ucapku dengan penuh kekesalan.

“Maaf, hahahah… lagian, kalo emang dia bukan pacar kamu jujur aja kali, malah so2 an merangkulnya lagi. Haahaha.” Ucapnya kemudian tertawa lagi, yaampun. Harga diriku benar-benar turun dihadapan kakak yang menyebalkan ini. Sinka juga sama menyebalkannya, bagaimana bisa saat pertama kali memperkenalkan dirinya sendiri dia terlihat begitu anggun, cantik, sopan, baik. Tapi nyatanya. Apa dia punya kepribadian ganda? Entahlah.

“Udah ketawanya?” Tanyaku sinis. Perlahan kak Ve menghentikan tawanya yang renyah itu.

“Maaf. Ohh iya Ayah dan Ibu tadi menyuruhku untuk mencarimu. Kita akan pulang.” Ucap kakakku lalu berjalan pergi.

“Oh iya sebelum itu. Kak Ve, kau tau Shinji?” Tanyaku yang membuat langkahnya terhenti. Dia masih diam mematung disana, entah sedang memikirkan apa aku juga tidak tau.

“Sebelum aku berangkat ke Amerika. Aku sempat bertemu dengannya.” Ucapku, kak Ve hanya menunduk.

“Sebenarnya aku sudah bertemu dengannya sekitar satu hari setelah keberangkatan kak Ve kesini. Namun waktu itu dia tidak memperkenalkan dirinya padaku, aku juga tidak terlalu menganggapnya.” Ucapku. Aku berjalan mendekati kak Ve.

“Namun, sebelum aku dan ibu berangkat kesini. Malam harinya dia mengajak bertemu denganku. Awalnya aku tidak tau Shinji itu siapa, dan karena rasa penasaran itulah makanya aku menyetujui dan menemuinya malam itu.” Ucapku. Kak Ve masih diam mematung, entah dia mendengarkan ceritaku atau mengabaikannya aku tidak tau.

“Bersambung.” Ucapku pergi. Kak Ve lalu memegang tanganku saat aku berjalan melewatinya.

“Lanjutkan Kido!!” Ucapnya dengan wajah yang kulihat sedikit berkaca-kaca. Sepertinya memang benar kalau orang yang bernama Shinji itu memiliki hubungan dengan kak Ve.

“Aku kira kau tidak tertarik.” Ucapku sedikit cuek. Dia melepaskan pegangannya lalu melihatku.

“Apa saja yang sudah dia katakan padamu?” Tanyanya. Aku berbalik kearahnya. Sekarang posisi kami sejajar dan sangat dekat.

“Tidak banyak.” Ucapku. Kak Ve mengerenyitkan dahinya.

“Apa maksudmu?” Tanyanya lagi.

“Yang kutahu hanyalah dia sangat suka padamu. Dia sudah beberapa kali menyatakan perasaannya padamu dan memintamu agar menjadi pacarnya, tapi selama beberapa kali itu juga kau terus menolaknya. Dengan alasan yang sedikit tidak kumengerti.” Jelasku.

“Alasan?” Ucapnya terlihat bingung.

“Dia bilang alasan kau tidak menerimanya karena aku dan ibu. Memang sebelumnya kau pernah bilang tidak akan pacaran dulu karena takutnya itu akan membagi perhatianmu, dan akan menyita waktu berhargamu dengan kami.” Ucapku.

“Yahh memang itulah yang aku khawatirkan. Jika aku sudah mulai berpacaran dengan seseorang maka perhatianku pada mu dan ibu pasti akan terbagi. Aku tidak mau melakukannya, bagaimanapun Ayah, Ibu dan Kamu adalah salah satu harta yang paling berharga yang aku punya. Melebihi apapun itu.” Ucapnya sambil tersedu sedu.

“Tapi kau tidak bisa membohongi perasaanmu sendiri kan? Aku tau kau juga menyukainya. Terlihat ketika pertama aku menyebutkan namanya, dan juga respon yang kau tunjukan padaku. Kurasa itu cukup membuktikan kalau kau juga memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi sayang kau tidak mau mengakuinya.” Ucapku. Kak Ve hanya menunduk. Suasana menjadi agak hening. Lalu aku merasakan ada getaran gelombang kenyerian pada pipiku.

“Kamu itu ya.!!” Ucapnya lalu mencubit pipiku.

“Sakit!!” Erangku.

“Tau apa kamu soal perasaan? Umurmu itu dibawahku, jangan so2 an menceramahi kakakmu sendiri. Dasar!!” Ucapnya lalu melepaskan cubitan supernya itu padaku.

“Sakit.” Erangku lalu mengusap pipi bekas cubitan supernya itu.

”Sudahlah, jangan bahas soal itu lagi. Ibu dan Ayah pasti khawatir, ayo kita segera menemui mereka.” Ucapnya lalu berjalan pergi. Aku hanya mengikutinya dari belakang sambil mengusap-usap pipiku.

“Darimana saja kalian? Ayah sangat khawatir. Ayah kira terjadi apa-apa sama kalian.” Ucap Ayahku yang langsung bertanya pada kami yang baru tiba disana.

“Tidak. Kami hanya baru dari atas.” Ucapku.

“Pipimu merah, kenapa?” Tanya Ibu khawatir.

“Tidak tidak, hanya habis dicubit nenek lampir. Tapi semuanya terkendali kok, percaya padaku.” Ucapku. Yang sepertinya membuat perasaan ibu dan ayah sedikit lega.

“Ayo kita pulang.” Ajak ayahku.

“Haaa? Pulang? Maksudnya ke Indonesia?” Tanyaku.

“Bukan itu, maksudnya pulang ke apartemen ku dasar!!” Ucap kakakku, sepertinya dia kesal.
           
Sebelum memasuki mobil, handphone ayahku berdering. Dia lalu mengangkat handphone nya dan mulai berbicara. Namun sepertinya, sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Itu karena dilihat dari ekspresi ayahku yang kelihatan terkejut sekali.

“Baiklah. Sekarang berikan posisimu…” Ucap ayahku. Apa sebenarnya yang terjadi? Ibu dan kak Ve juga ikut bingung dengan situasinya.

“Baiklah aku kesana sekarang.” Lanjut ayahku yang kemudian mematikan hpnya lalu memasukannya kedalam saku. Dia melihat kearah kami dengan ekspresi yang sedikit sedih.

“Maaf sebelumnya Ve, Kido dan kau sayang. Ini benar-benar mendadak sekali. Dan Ayah harus segera pergi kembali ke Jerman. Ayah tau mungkin ini sedikit mengecewakan. Acara yang seharusnya menjadi acara keluarga yang indah, namun nyatanya harus berakhir seperti ini. Ayah harus pergi meninggalkan kalian karena situasinya benar-benar tidak bisa ditinggalkan.” Ucap Ayahku dengan jelas menjelaskan. Aku mengerenyitkan dahiku. Terlihat juga wajah kecewa yang ditujukan kak Ve.

“Ada apa sebenarnya sayang?” Tanya ibukku yang ikut panik.

“Teman kantorku. Dia ditemukan tewas diruang kerjanya. Dan bukan hanya itu, menurut informasi 2 partner bisnis kami juga tewas secara misterius. Aku tidak tau apa yang terjadi. Makanya aku harus segera kesana dan memastikan apa yang sedang terjadi dan aku harus ikut membantu menyelesaikan masalahnya.” Ucap Ayahku.

“Tapi bukannya itu juga akan berbahaya untuk Ayah sendiri? Jika sekarang Ayah pergi ke Jerman, dan ternyata pelaku pembunuhan itu belum tertangkap. Lalu sesuatu yang buruk terjadi pada Ayah bagaimana?” Tanya kak Ve yang memegang tangan Ayah dengan erat. Memang benar, kemungkinan terburuknya juga pasti akan terjadi.

“Jangan khawatir. Justru kalau Ayah tidak pergi, nanti teman-teman yang lainnya akan kecewa. Paling tidak, Ayah mau mengungkap siapa dalang dari semua kejadian ini. Biarkan Ayah pergi. Ayah janji nanti kita akan membuat jadwal khusus untuk acara keluarga kita. Yang terindah, dan tidak ada lagi yang mengganggu. Ayah janji.” Ucap Ayahku sambil mengusap pipi kak Ve yang sedang berusaha menahan air matanya keluar.

“Janji?” Tanya kak Ve sambil mengacungkan jari kelingkingnya.

“Janji.” Ucap Ayahku sambil melakukan janji jari kelingking. Aku hanya tersenyum, bagaimanapun juga. Tidak ada seorang lelaki yang menyayangi kak Ve melebihi Ayah. Tidak sampai saat ini. Begitu juga sebaliknya, hanya Ayah lelaki satu-satunya yang sangat dikagumi kak Ve. Mereka benar-benar sangat dekat sebagai seorang Ayah dan Anak.

“Jaga diri kalian baik-baik yah.” Ucap Ayahku pada Ibu.

“Kau juga.” Kata ibuku yang lalu memeluk Ayah. Kulihat air mata kak Ve juga sudah tidak bisa dibendung lagi. Yah bagaimanapun momen seperti ini jarang sekali terjadi, jadi kupikir wajar jika kak Ve sangat bersedih dengan sudahnya momen bersama Ayah.

“Lalu.” Ucap Ayahku lalu melirikku. “Jaga mereka untukku yah Kido.” Lanjut ayahku sambil mengacak-acak rambutku. Sejujurnya aku tidak suka perlakuan seperti ini.

“Tentu.” Ucapku sambil tersenyum. “Ayah juga, jaga diri baik-baik disana.” Lanjutku. Ayah hanya tersenyum lalu mendekati mobil hitam yang tidak lama baru saja datang. Ayah memasuki mobil itu, membuka jendela kacanya lalu melambaikan tangannya. Mobil itu kemudian pergi. Perlahan meninggalkan kami yang masih diam ditempat tadi. Hari yang menyenangkan, tapi juga menyedihkan karena hanya satu malam saja aku bertemu dengan Ayahku.