Hari itu selesai. Setelah berbicara
banyak dengan Veranda, dan Raja telah menemukan titik permasalahannya. Dia
pergi ke rumah Shinji, memutuskan bercerita semuanya pada Shinji tentang kenapa Veranda selalu mengacuhkannya. Shinji sedikit mengerti tentang situasinya.
“Kido
kah?” Ucap Shinji
“Yah.
Maaf karena sebelumnya aku tidak memberitahumu dulu kalau aku akan ketemuan
dengan Veranda.” Ucap Raja.
“Tidak
apa-apa.” Ucap Shinji
“Kemana
rencanamu hari ini?” Tanya Raja.
“Tidak
akan kemana-mana, aku akan bermalas malasan.” Ucap Shinji.
“Haa
baiklah. Maaf aku tidak bisa menemanimu hari ini. Aku ada sedikit keperluan
dengan Ibuku dan sepertinya bakal seharian penuh. Jadi kalau ada apa-apa,
telpon Ve saja.” Ucap Raja. Shinji mengrenyitkan keningnya.
“Ve?
Kenapa aku harus menelponnya? Berbicara secara langsung saja dia tidak pernah
menghiraukanku. Apalagi lewat ponsel.” Ucap Shinji.
“Ahh
benar juga. baiklah. Sampai jumpa.” Ucap Raja lalu pergi.
“Ya.
Sampaikan salamku pada ibumu.” Ucap Shinji.
Hari hari terus berlalu, Veranda
mulai sedikit tidak mengacuhkan Shinji. Mereka selalu saling berbicara satu
sama lain, tentang masalah apapun. Raja terlihat sangat senang melihat Shinji
kembali dipenuhi senyuman yang sempat meredup beberapa waktu. Kadang mereka
bertiga hangout bersama, membicarakan hal yang penting dan juga tidak penting.
Disebuah café pada malam hari setelah diumumkan bahwa Veranda akan pergi ke
Amerika. Mereka bertiga ketemuan disana, setelah memesan pesanan masing masing.
Suasana justru menjadi sangat hening.
“Mmm..”
Ucap Raja berdehem. Shinji melihat Raja, seakan tau apa maksudnya.
“Kau
baik-baik saja Ve?” Tanya Shinji. Ve hanya tersenyum.
“Tentu.”
Ucap Ve.
“Aku
ijin ke toilet sebentar.” Ucap Raja lalu pergi.
“Ya.”
Ucap Shinji.
“Ada
apa memangnya?” Tanya Ve.
“Soal
keberangkatanmu ke Amerika minggu depan. Sepertinya… Aku… benar-benar akan
sangat merindukanmu.” Ucap Shinji. Ve hanya tersenyum sambil menatap Shinji.
“Kalau
begitu, kenapa kau tidak berusaha menghentikanku untuk berangkat kesana?” Tanya
Ve.
“Tidak
mungkin. Bagaimanapun juga ini termasuk mimpimu kan? Bisa belajar diluar
negeri.” Ucap Shinji.
“Sudahlah
Shinji. Lagipula aku disana hanya satu tahun.” Ucap Veranda.
“Itu
terasa sangat lama buatku.” Ucap Shinji. Ve hanya tertawa pelan.
“Kau
juga akan merayakan ulang tahunmu disana.” Ucap Shinji lagi. Ve terlihat sedang
berfikir.
“Benar
juga. Aku akan melewati hari kelahiranku disana. Pasti menyenangkan.” Ucap Ve
yang benar benar terlihat senang.
“Ve.”
Panggil Shinji.
“Apa?”
Tanya Ve.
“Aku…
Aku hanya ingin tau. Perasaanmu yang sebenarnya padaku itu seperti apa?” Ucap
Shinji. Mendengar pertanyaan itu Ve hanya terdiam, bibir mungilnya tidak bisa
berkata apa-apa pada Shinji. Perasaan bingung kini menyelimuti Ve, dia sendiri
bingung dengan perasaannya.
“Kalau
kau tidak mau memberitahuku juga tidak apa-apa, maaf karena telah bertanya hal
aneh padamu.” Ucap Shinji. Raja yang sedari tadi terus mengawasi mereka
benar-benar geregetan melihat tingkah Shinji. Raja sebenarnya tidak pergi ke
toilet. Dia hanya ingin member waktu mereka berdua untuk berbicara empat mata.
“Bodoh.
Apa yang kau lakukan.” Gerutu Raja. Dia memang tidak secara jelas mendengar langsung
percakapan mereka. Dia hanya bisa melihat gerak bibir keduanya dan
mendeskripsikan apa yang mereka berdua katakan dengan memperhatikan gerak muka
dan ekspresi mereka berdua untuk mendapat kesimpulan mengenai apa yang mereka
bicarakan.
“Sebenarnya.”
Ucap Ve. Raja langsung fokus memperhatikan, Shinji justru sangat gugup
mendengar hal ini.
“Sebenarnya?”
Tanya Shinji.
“Perasaanku
padamu itu sama dengan perasaanku ke Raja, aku hanya merasa kita dekat karena
kita berteman dan juga sering bertemu. Hanya itu.” Ucap Ve.
“Begitu
ya.” Ucap Shinji.
“Maaf
ya Shinji.” Ucap Ve.
“Tidak.
Aku justru bersyukur karena sudah dianggap teman oleh mu.” Ucap Shinji.
Bohong!! Sebenarnya seketika waktu itu juga hati Shinji benar-benar hancur
bagaikan ditusuk jutaan duri yang tajam. Mendengar hal itu Ve tersenyum lega.
Namun seketika suasana menjadi sangat hening. Raja berpikir mungkin inilah
saatnya dia kembali, dia mulai berjalan kearah mereka berdua.
“Apa
ini. Kenapa suasana disini sangat tenang? Apa kalian tadi saling berbicara?”
Tanya Raja yang tentunya tau apa yang terjadi pada mereka.
“Tentu
saja, kau saja yang tidak tau.” Ucap Shinji.
“Oi
Ve ngomong-ngomong kapan adik dan ibumu pindah kesini?” Tanya Raja.
“Minggu
depan.” Ucap Ve.
“Itu
artinya sama dengan jadwal keberangkatanmu ke Amerika?” Tanya Raja.
“Lebih
tepatnya sehari sebelum keberangkatanku. Aku juga berencana untuk memundurkan
jadwal keberangkatanku ke Amerika jadi sore hari.”
“Kenapa?”
Tanya Shinji.
“Aku
ingin mengantar Kido ke sekolah barunya. Dan juga aku ingin menunggu dia pulang
dari sekolah dan mengucapkan selamat tinggal padanya. Itupun kalo aku bisa
melakukannya.” Ucap Ve, dia terlihat sangat senang. Seulas senyuman terlukis
jelas di wajah cantiknya. Raja dan Shinji yang melihat itu tidak bisa apa-apa.
Hanya bisa mengagumi kecantikan seorang Veranda.
“Hee.
Kelihatannya kau begitu sayang dengan adikmu.” Ucap Raja.
“Tentu
saja. Aku akan selalu menyayanginya. Entah kenapa aku merasa dia masih belum
tumbuh menjadi dewasa. Atau memang karena aku selalu memandangnya sebagai
seorang anak kecil yang butuh perlindungan.” Ucap Ve.
“Kelas
berapa dia?” Tanya Shinji.
“Kelas
satu SMA semester 2.” Ucap Ve.
“Hee.
Kita juga semester 2 kan?” Tanya Raja polos.
“Tentu
saja berbeda bodoh. Kita kuliah sedangkan Kido masih di SMA. Bagaimana kau
ini.” Ucap Shinji dengan emosi sambil meninju pelan lengan Raja.
“Maaf
maaf.” Ucap Raja. Melihat kejadian itu membuat Ve menahan tawanya. Shinji dan
Raja melihat itu. Tentu saja mereka sangat senang ketika melihat seorang
Veranda tertawa karena tingkah konyol mereka berdua.
#Flashback
Off
*Kido
POV
“Jadi
sampai sekarang sebenarnya hubungan mereka baik-baik saja kan?” Tanyaku yang
sudah mendengar ceritanya.
“Tentu.”
Jawab Raja.
“Mendengar
ceritamu, sepertinya hal itu sedang aku alami sekarang.” Ucapku. Raja melihatku
dengan tatapan yang penuh Tanya.
“Maksudmu
kau pernah ditolak seorang gadis beberapa kali?” Tanyanya.
“Bukan!!
Yah bisa dibilang ini berbeda tapi… Apa kau juga menyukai kakakku?” Tanyaku.
Dia memalingkan wajahnya.
“Entahlah.
Aku sendiri bingung dengan perasaanku.” Ucapnya.
“Sudah
kuduga itulah jawabanmu. Kenapa kau bingung?” Tanyaku.
“Kau
tau. Ini disebut dilema. Menyukai seorang gadis yang sama dengan sahabatmu
sendiri adalah hal yang sangat tidak aku inginkan. Tapi, melihat kedua
sahabatku tersenyum bahagia adalah segalanya buatku. Aku tidak peduli dengan
perasaanku sendiri. Aku hanya berfikir bagaimana agar senyuman senyuman itu
tidak akan hilang dan tetap terus bertahan hingga nanti. Karena setiap kali aku
melihat senyuman mereka, diriku merasa kalau aku sudah melakukan tugasku dengan
baik. Untuk sisanya aku serahkan pada Tuhan. Karena Dia tau apa yang terbaik
buatku nantinya.” Ucap Raja panjang. Kulihat dia sedang menahan air matanya.
Kasusnya sama sepertiku, lalu keputusannya hanya bergantung padaku. Apa aku
harus tetap menjadi payung untuk melindungi hubungan Wahyu dan Shani atau
menjadi angin yang memisahkan mereka berdua. Aku akan memikirkannya.
“Hee.
Menjadi payung untuk melindungi dua sahabatmu rupanya. Tapi asal kau tahu.
Tindakan bodohmu itu tidak akan mendapat pujian dari siapapun meskipun
menurutku sangat layak mendapatkannya. Rela menyakiti dirimu sendiri hanya
karena sebuah senyuman dua sahabat yang kau punya. Sejauh itukah kau memikirkan
mereka? Lalu apa mereka memikirkanmu sejauh itu juga? Apa yang akan mereka
lakukan jika berada diposisimu? Apa mereka akan melakukan hal yang sama
denganmu? Kau tahu, memikirkan semua itu tidak akan ada habisnya. Jawabannya
ada pada diri manusianya masing-masing. Entah dia memiliki hati seorang
kesatria sepertimu atau hati sampah yang hanya memperdulikan diri mereka
sendiri.” Ucapku. Apa? Aku bicara terlalu banyak. Aku harap tidak
menyinggungnya sedikitpun, karena aku kagum padanya.
“Kau
benar. Itulah manusia.” Ucapnya sambil tersenyum. Kenapa dia?
“Kalau
semua sifat manusia baik. Maka bukan manusia lagi namanya, benarkan?” Ucapnya
lagi.
“Dasar.”
Ucapku tersenyum lalu beranjak dari kursi.
“Mau
kemana?” Tanyanya.
“Aku
ingin menemui Shinji. Dia harus bertanggung jawab karena telah memukuliku tempo
hari.” Ucapku lalu berjalan pergi.
“Baiklah.
Selesaikan urusanmu. Senang bisa bicara banyak denganmu Kido.” Ucapnya sambil
teriak. Ternyata masih ada orang yang seperti itu dizaman yang gila ini.