Wednesday, September 14, 2016

Langit Biru Bagian 8



“Kenapa mengirim pesan? Jika ada perlu telepon saja kerumah. Biayanya terlalu mahal untuk membalas pesannya.” Tulisku dipesan singkat lalu mengirimnya. Tidak lama kemudian telepon rumah berbunyi. Aku bergegas mengangkat telepon itu.

“Ya.” Ucapku.

“Kau ini yang masih saja bersikap seperti itu pada kakakmu.” Ucap seseorang yang berbicara ditelepon itu.

“Iya maaf, kenapa juga kakak mengirim pesan singkat itu, kan bisa langsung menelpon kesini kalau ada apa-apa.” Ucapku membela diri.

“Terserah kau saja.” Ucapnya. Sepertinya dia mulai marah padaku.

“Ada apa?” Tanyaku.

“Gimana kabarmu?” Tanyanya.

“Aku baik-baik saja.” Ucapku.

“Begitu ya. Syukurlah. Ohh iya, aku mau tanya tiket penerbangannya sudah sampai belum?” Tanya kak Ve. Apa maksudnya? Aku tidak mengerti sama sekali.

“Tiket penerbangan apa? Jelaskan lebih jelas. Aku tidak mengerti sama sekali.” Tanyaku balik padanya, karena memang aku tidak mengerti dengan perkataannya.

“Hee? Jadi ibu masih belum bilang padamu?” Tanyanya lagi.

“Bilang apa?” Tanyaku lagi.

“Seminggu yang lalu kakak memesan 2 tiket penerbangan Indonesia-Amerika, aku kira itu sudah sampai. Karena seharusnya tiket itu sudah sampai pada ibu.” Jelasnya.

“Haa? Apa maksudnya? Untuk apa tiket itu?” Tanyaku lagi.

“Kakak mengajakmu dan Ibu untuk datang kesini. Berlibur, sekolahmu masih liburkan? Jadi. Apa salahnya menghabiskan waktu liburanmu di Amerika.” Ucap kakakku.

“Yang benar saja. Kenapa tidak bilang kepadaku lebih dulu dari awal.” Ucapku kesal.

“Kalau aku bilang padamu, nanti kamu susah diajak perginya.” Ucapnya.

“Curang.!!” Ucapku dengan sedikit teriak.

“Hihihi, mungkin Ibu sedang mengambil paspor kalian ke kantor imigran terdekat. Jadi besok kalian akan mulai berangkat. Kakak tunggu disini ya, daahhh.” Ucapnya lalu hanya terdengar suara biasa ditelepon itu. Aku menempatkan gagang telepon itu ditempatnya semula. Sial!! Kenapa dia tidak bilang seminggu sebelumnya kalau dia merencanakan keberangkatan ini. Ibu juga kenapa tidak bilang apapun padaku. Sejujurnya aku sedikit malas kalau disuruh bepergian, apalagi ini ke luar negeri. Sial!!. Aku melihat kearah jam dinding, sepertinya ibu tidak akan pulang untuk sementara waktu. Aku juga tidak tau dimana kantor imigran itu berada. Tapi sepertinya itu akan memakan waktu yang cukup lama. Yah sangat lama.

Seperti yang sudah dijanjikan Wahyu dan Rena, aku sedang bersiap siap dikamar untuk menghadiri acara makan malam. Yahh meskipun sejujurnya aku merasa sangat malas, tapi karena ini permintaan langsung dari Wahyu dan aku pun juga merasa bersalah karena sudah membuatnya ‘malu’ karena aku sudah bilang perasaannya yang sebenarnya pada Shani. Jadi, mungkin dengan mengiyakan ajakannya akan sedikit melupakan masalah itu. Terdengar suara klakson motornya Wahyu sudah berkali-kali dibunyikan, aku segera keluar kamar dan menemuinya. Tapi sayangnya Ibu masih belum pulang.

“Ganteng juga kalau rapi kau Kido.” Ucapnya.

“Haa? Jangan bicara hal aneh seperti itu lagi. Aku mulai takut padamu.” Ucapku yang sedikit khawatir.

“Hahahaha, jangan khawatir, aku masih normal.” Ucapnya lagi. Sebelum kami berangkat, sebuah taksi berhenti didepan rumahku.

“Ibu?” Ucapku. Dan ternyata benar, ibuku yang turun dari taksi itu. Dia lalu menghampiri kami.

“Kamu mau kemana Kido?” Tanya Ibuku yang melihatku berpakaian rapi.

“Ahh Ibu, ini aku dan Wahyu ada acara makan malam bersama teman kami. Tidak apa-apa kan aku ikut.” Tanyaku. Ibuku hanya tersenyum.

“Iya tidak apa-apa. Pergi saja. Dan Kido, besok kita akan berangkat.” Ucap Ibuku. Aku lalu berpamitan pada ibuku dan langsung berangkat menggunakan motornya Wahyu ke café yang dimaksud. Sepertinya aku tau maksud Ibu, berangkat ke Amerika untuk berlibur. Yah, kak Ve dan Ibu sudah merencanakannya. Aku tidak memiliki kesempatan lagi untuk menolak jika kedua bidadari ini yang melakukannya.

Setibanya disana kami masuk kedalam café itu dan melihat sekitar untuk mencari Rena. Seseorang melambaikan tangannya kepada kami, dan itu Rena. Kulihat Bella juga ada disana dan seorang laki-laki disampingnya.

“Ayo Kido itu Rena sudah manggil kita.” Ajak Wahyu.

“Kau tidak merasa aneh? Kau lihat pria didekat Bella?” Tanyaku. Kita masih berdiri mematung.

“Ahh itukan pria bertudung yang bersama Bella waktu itu.” Ucap Wahyu.

“Aku pikir juga begitu. Memang kita tidak sempat melihat wajahnya, tapi aku yakin sekali dia orang yang sama dengan yang waktu itu.” Ucapku.

“Jadi menurutmu. Hari ini kita akan tau identitas sebenarnya dari pria itu?” Tanya Wahyu.

“Sepertinya begitu.” Jawabku. Kami lalu menghampiri meja dimana Rena, Bella dan Pria misterius itu duduk. Kami lalu bersalaman dengan Rena dan Bella tapi tidak dengan laki-laki itu.

“Maaf telat, kalian sudah lama menunggu?” Ucap Wahyu basa-basi lalu duduk dikursinya. Aku pun juga mulai duduk dikursi yang kosong.

“Ahh tidak juga kok kak.” Ucap Rena.

“Sepertinya kami yang terlalu cepat datang kesini.” Ucap Bella lalu tersenyum. Wahyu lalu melirik kearah laki-laki itu. Wajahnya sudah sedikit terlihat. Dan sepertinya Bella mengerti dengan situasi yang sedang terjadi.

“Ohh iya perkenalkan, dia kakak yang waktu itu membelikanku es krim, dia…” Ucap Bella

“Shinji.” Ucap Pria berjaket itu.

“Shinji? Ahh aku Wahyu. Salam kenal.” Ucap Wahyu. Pria itu hanya tersenyum.

“Dan aku Kido.” Ucapku. Dia menatapku, tapi berbeda saat dia menatap Wahyu dan tersenyum padanya. Tatapannya seperti menandakan kalau dia sangat benci padaku. Apa ini hanya pemikiranku saja atau memang kenyataannya dia membenciku. Kalau memang dia membenciku. Apa alasannya, kupikir kita baru bertemu dua kali dan apa itu bisa membuatnya membenciku?

“Ohh iya Rena, Bella. Kemana kalian akan melanjutkan SMA?” Tanya Wahyu.

“Kami sepakat untuk masuk ke SMA yang sama dengan kak Wahyu dan Kak Kido.” Ucap Rena.

“Iya, masa orientasinya juga akan dilaksanakan 4 hari lagi.” Ucap Bella.

“Hee? Benarkah? Itu akan seru.” Ucap Wahyu senang.

“Apa kakak menjadi salah satu panitianya?” Tanya Rena. Wahyu tersenyum.

“Sayang sekali, aku tidak termasuk salah satu panitia itu.” Ucap Wahyu.

“Kalau Kak Kido?” Tanya Bella.

“Ahh aku juga bukan.” Ucapku, aku benar-benar bingung. Pasti ada yang tidak beres disini.

Tidak terasa malam sudah semakin larut, mungkin karena kita asik mengobrol jadi lupa sama waktu. Namun faktanya, suasana tegang masih menyelimutiku. Dengan tatapan sekejam itu, siapa yang tidak takut. Bagaimana kalau nantinya dia membunuhku dan memutilasi tubuhku lalu dibuang ke sungai, kan serem cuy. Tapi sebenarnya apa yang membuatnya membenciku. Pasti ada sebuah alasan yang masuk akal disini.

Kita memutuskan untuk pulang. Malam yang menyenangkan karena bisa mengobrol bareng Rena dan Bella. Di parkiran motor, Wahyu sedang mengambil motornya yang diparkir agak jauhan dari café, sementara aku menunggunya didepan jalan yang mau masuk ke café itu. Rena dan Bella sudah pulang duluan. Sementara si Pria Shinji berjalan kearahku.

“Aku menunggumu. Dipersimpangan jalan dekat rumahmu. Pukul 11 tepat.” Ucapnya lalu pergi begitu saja. Aku hanya menunduk. Melihat ke jam tanganku, pukul 10 ucapku dalam hati. Wahyu lalu datang sambil menaiki motornya.

“Ayo Kido.” Ajaknya, aku lalu menaiki motornya, lalu pulang.

Setibanya dirumah, aku masih kepikiran dengan ucapannya, dia mengajakku bertemu pukul 11 malam ini. Apa yang akan dia lakukan? Memikirkannya saja sudah menyeramkan. Semoga saja tidak terjadi apa-apa. Aku bergegas keluar rumah, sepertinya ibuku sudah tidur. Aku berharap bisa keluar tanpa membangunkannya. Kasihan juga, besok kami akan berangkat ke Amerika untuk berlibur, setidaknya membiarkan ibu beristirahat karena sudah mengurus semua keperluan yang kita perlukan bukanlah hal yang salah.

Aku sudah sampai ditempat yang dimaksud, suasananya begitu hening dan tenang, sedikit menyeramkan karena tidak semua sudut diterangi lampu. Aku melihat sekitar, mungkin dia sudah menunggu ditempat lain. Aku melihat jam, pukul 11 tepat pikirku, tapi aku belum melihatnya juga, dimana dia? Apa dia lupa dengan janjinya sendiri. Tidak lama seorang pria berjaket datang. Seperti dugaanku, itu adalah Shinji.

“Ohh sepertinya kau cukup berani.” Ucapnya.

“Apa maksudmu?” Tanyaku. Kembali, tatapan menakutkan itu kembali menatapku. Ada apa dengan orang ini? Apa dia kerasukan atau apa.

“Tidak. Hanya saja untuk ukuran bocah SMA sepertimu, kau lumayan berani datang ketempat seperti ini sendirian, aku pikir semua bocah SMA sama saja. Penakut dan pengecut.” Ucapnya. Aku memiringkan kepala karena tidak mengerti, apa yang dia bicarakan?

“Langsung saja, ada apa menyuruhku kesini?” Tanyaku tanpa basa-basi. Dia lalu memegang kerah bajuku dan mendorongku ke dinding.

“Baiklah dengar bocah. Ada beberapa pertanyaan yang harus kau jawab dengan jujur.” Ucapnya. Aku mulai sedikit takut.

“Kau Kido kan? Kau tau siapa Veranda?” Tanyanya. Aku mengkerutkan keningku. Kakakku? Kenapa dia bertanya tentangnya.

“Tentu saja aku tau, mana mungkin aku tidak tau kakakku sendiri.” Ucapku yang masih dalam keadaan terpojok.

“Jadi benar. Kido yang sering disebut-sebutnya itu adalah kau. Adik tercintanya.” Ucapnya, aku benar-benar tidak mengerti.

“Apa yang kau maksud?” Tanyaku.

“Dia pernah berbicara sesuatu tentang pacarnya atau apa?” Tanya nya, dia menghiraukan pertanyaanku.

“Pacar? Tidak pernah.” Ucapku. Aku mulai kesal padanya.

“Begitu.” Ucapnya. Lama kelamaan dia membuatku semakin tidak bisa menahan emosi.

“Lepaskan!!” Ucapku lalu memukul mukanya, dengan begitu tangannya berhasil terlepas dari kerahku. Dia mundur beberapa langkah lalu mengelap darah yang keluar dari mulutnya dengan punggung tangannya.

“Brengsek!! Beraninya kau.” Ucapnya dengan nada tinggi.

“Diam!! Dengar, aku tidak tau kenapa kau menanyakan hal-hal tentang kak Ve, siapa kau dan kenapa kau bisa tau tentangnya dan juga kenapa kau bisa tau tentangku, adik nya? Kau tidak memberikan sedikit penjelasan sama sekali.” Ucapku dengan nada yang sama tinggi.

“Apa? Bocah ingusan sepertimu tidak perlu diberi penjelasan apapun. Cukup menjawab beberapa pertanyaan yang aku ajukan saja mengerti?” Ucapnya. Aku mulai merasa kesal.

“Dengar!! Aku tidak akan membiarkanmu berbuat macam-macam pada kakakku. Jika aku melihatnya menangis dan terbukti itu karena perbuatanmu, aku akan mengejarmu kemanapun kau lari.” Ucapku dengan penuh rasa kesal dan amarah. Yang benar saja, dia bahkan tidak menjelaskan sedikit pun tentangnya dan kenapa dia bisa mengenal kak Ve. Dia lalu berjalan mendekat kearahku.

“Baiklah akan aku beritahu sesuatu yang menarik.” Ucapnya sambil mengepalkan tangannya. Aku hanya berharap agar malam ini bisa berakhir dengan cepat. Yahh tidak perlu aku ceritakan, namun pada akhirnya dia berhasil memukuliku. Tidak sampai 2 menitan aku sudah ambruk setengah sadar di persimpangan itu. Aku berusaha berdiri, untuk pulang. Besok aku dan Ibu akan mulai berangkat ke Amerika, aku tidak boleh mengecewakannya.

No comments:

Post a Comment