“Kenapa
mengirim pesan? Jika ada perlu telepon saja kerumah. Biayanya terlalu mahal
untuk membalas pesannya.” Tulisku dipesan singkat lalu mengirimnya. Tidak lama
kemudian telepon rumah berbunyi. Aku bergegas mengangkat telepon itu.
“Ya.”
Ucapku.
“Kau
ini yang masih saja bersikap seperti itu pada kakakmu.” Ucap seseorang yang
berbicara ditelepon itu.
“Iya
maaf, kenapa juga kakak mengirim pesan singkat itu, kan bisa langsung menelpon
kesini kalau ada apa-apa.” Ucapku membela diri.
“Terserah
kau saja.” Ucapnya. Sepertinya dia mulai marah padaku.
“Ada
apa?” Tanyaku.
“Gimana
kabarmu?” Tanyanya.
“Aku
baik-baik saja.” Ucapku.
“Begitu
ya. Syukurlah. Ohh iya, aku mau tanya tiket penerbangannya sudah sampai belum?”
Tanya kak Ve. Apa maksudnya? Aku tidak mengerti sama sekali.
“Tiket
penerbangan apa? Jelaskan lebih jelas. Aku tidak mengerti sama sekali.” Tanyaku
balik padanya, karena memang aku tidak mengerti dengan perkataannya.
“Hee?
Jadi ibu masih belum bilang padamu?” Tanyanya lagi.
“Bilang
apa?” Tanyaku lagi.
“Seminggu
yang lalu kakak memesan 2 tiket penerbangan Indonesia-Amerika, aku kira itu
sudah sampai. Karena seharusnya tiket itu sudah sampai pada ibu.” Jelasnya.
“Haa?
Apa maksudnya? Untuk apa tiket itu?” Tanyaku lagi.
“Kakak
mengajakmu dan Ibu untuk datang kesini. Berlibur, sekolahmu masih liburkan?
Jadi. Apa salahnya menghabiskan waktu liburanmu di Amerika.” Ucap kakakku.
“Yang
benar saja. Kenapa tidak bilang kepadaku lebih dulu dari awal.” Ucapku kesal.
“Kalau
aku bilang padamu, nanti kamu susah diajak perginya.” Ucapnya.
“Curang.!!”
Ucapku dengan sedikit teriak.
“Hihihi,
mungkin Ibu sedang mengambil paspor kalian ke kantor imigran terdekat. Jadi
besok kalian akan mulai berangkat. Kakak tunggu disini ya, daahhh.” Ucapnya
lalu hanya terdengar suara biasa ditelepon itu. Aku menempatkan gagang telepon
itu ditempatnya semula. Sial!! Kenapa dia tidak bilang seminggu sebelumnya
kalau dia merencanakan keberangkatan ini. Ibu juga kenapa tidak bilang apapun
padaku. Sejujurnya aku sedikit malas kalau disuruh bepergian, apalagi ini ke
luar negeri. Sial!!. Aku melihat kearah jam dinding, sepertinya ibu tidak akan
pulang untuk sementara waktu. Aku juga tidak tau dimana kantor imigran itu
berada. Tapi sepertinya itu akan memakan waktu yang cukup lama. Yah sangat
lama.
Seperti yang sudah dijanjikan Wahyu
dan Rena, aku sedang bersiap siap dikamar untuk menghadiri acara makan malam.
Yahh meskipun sejujurnya aku merasa sangat malas, tapi karena ini permintaan
langsung dari Wahyu dan aku pun juga merasa bersalah karena sudah membuatnya
‘malu’ karena aku sudah bilang perasaannya yang sebenarnya pada Shani. Jadi,
mungkin dengan mengiyakan ajakannya akan sedikit melupakan masalah itu.
Terdengar suara klakson motornya Wahyu sudah berkali-kali dibunyikan, aku
segera keluar kamar dan menemuinya. Tapi sayangnya Ibu masih belum pulang.
“Ganteng
juga kalau rapi kau Kido.” Ucapnya.
“Haa?
Jangan bicara hal aneh seperti itu lagi. Aku mulai takut padamu.” Ucapku yang
sedikit khawatir.
“Hahahaha,
jangan khawatir, aku masih normal.” Ucapnya lagi. Sebelum kami berangkat,
sebuah taksi berhenti didepan rumahku.
“Ibu?”
Ucapku. Dan ternyata benar, ibuku yang turun dari taksi itu. Dia lalu
menghampiri kami.
“Kamu
mau kemana Kido?” Tanya Ibuku yang melihatku berpakaian rapi.
“Ahh
Ibu, ini aku dan Wahyu ada acara makan malam bersama teman kami. Tidak apa-apa
kan aku ikut.” Tanyaku. Ibuku hanya tersenyum.
“Iya
tidak apa-apa. Pergi saja. Dan Kido, besok kita akan berangkat.” Ucap Ibuku.
Aku lalu berpamitan pada ibuku dan langsung berangkat menggunakan motornya
Wahyu ke café yang dimaksud. Sepertinya aku tau maksud Ibu, berangkat ke
Amerika untuk berlibur. Yah, kak Ve dan Ibu sudah merencanakannya. Aku tidak
memiliki kesempatan lagi untuk menolak jika kedua bidadari ini yang
melakukannya.
Setibanya disana kami masuk kedalam
café itu dan melihat sekitar untuk mencari Rena. Seseorang melambaikan
tangannya kepada kami, dan itu Rena. Kulihat Bella juga ada disana dan seorang
laki-laki disampingnya.
“Ayo
Kido itu Rena sudah manggil kita.” Ajak Wahyu.
“Kau
tidak merasa aneh? Kau lihat pria didekat Bella?” Tanyaku. Kita masih berdiri
mematung.
“Ahh
itukan pria bertudung yang bersama Bella waktu itu.” Ucap Wahyu.
“Aku
pikir juga begitu. Memang kita tidak sempat melihat wajahnya, tapi aku yakin
sekali dia orang yang sama dengan yang waktu itu.” Ucapku.
“Jadi
menurutmu. Hari ini kita akan tau identitas sebenarnya dari pria itu?” Tanya
Wahyu.
“Sepertinya
begitu.” Jawabku. Kami lalu menghampiri meja dimana Rena, Bella dan Pria
misterius itu duduk. Kami lalu bersalaman dengan Rena dan Bella tapi tidak
dengan laki-laki itu.
“Maaf
telat, kalian sudah lama menunggu?” Ucap Wahyu basa-basi lalu duduk dikursinya.
Aku pun juga mulai duduk dikursi yang kosong.
“Ahh
tidak juga kok kak.” Ucap Rena.
“Sepertinya
kami yang terlalu cepat datang kesini.” Ucap Bella lalu tersenyum. Wahyu lalu
melirik kearah laki-laki itu. Wajahnya sudah sedikit terlihat. Dan sepertinya
Bella mengerti dengan situasi yang sedang terjadi.
“Ohh
iya perkenalkan, dia kakak yang waktu itu membelikanku es krim, dia…” Ucap
Bella
“Shinji.”
Ucap Pria berjaket itu.
“Shinji?
Ahh aku Wahyu. Salam kenal.” Ucap Wahyu. Pria itu hanya tersenyum.
“Dan
aku Kido.” Ucapku. Dia menatapku, tapi berbeda saat dia menatap Wahyu dan
tersenyum padanya. Tatapannya seperti menandakan kalau dia sangat benci padaku.
Apa ini hanya pemikiranku saja atau memang kenyataannya dia membenciku. Kalau
memang dia membenciku. Apa alasannya, kupikir kita baru bertemu dua kali dan
apa itu bisa membuatnya membenciku?
“Ohh
iya Rena, Bella. Kemana kalian akan melanjutkan SMA?” Tanya Wahyu.
“Kami
sepakat untuk masuk ke SMA yang sama dengan kak Wahyu dan Kak Kido.” Ucap Rena.
“Iya,
masa orientasinya juga akan dilaksanakan 4 hari lagi.” Ucap Bella.
“Hee?
Benarkah? Itu akan seru.” Ucap Wahyu senang.
“Apa
kakak menjadi salah satu panitianya?” Tanya Rena. Wahyu tersenyum.
“Sayang
sekali, aku tidak termasuk salah satu panitia itu.” Ucap Wahyu.
“Kalau
Kak Kido?” Tanya Bella.
“Ahh
aku juga bukan.” Ucapku, aku benar-benar bingung. Pasti ada yang tidak beres
disini.
Tidak terasa malam sudah semakin
larut, mungkin karena kita asik mengobrol jadi lupa sama waktu. Namun faktanya,
suasana tegang masih menyelimutiku. Dengan tatapan sekejam itu, siapa yang
tidak takut. Bagaimana kalau nantinya dia membunuhku dan memutilasi tubuhku
lalu dibuang ke sungai, kan serem cuy. Tapi sebenarnya apa yang membuatnya
membenciku. Pasti ada sebuah alasan yang masuk akal disini.
Kita memutuskan untuk pulang. Malam
yang menyenangkan karena bisa mengobrol bareng Rena dan Bella. Di parkiran
motor, Wahyu sedang mengambil motornya yang diparkir agak jauhan dari café,
sementara aku menunggunya didepan jalan yang mau masuk ke café itu. Rena dan
Bella sudah pulang duluan. Sementara si Pria Shinji berjalan kearahku.
“Aku
menunggumu. Dipersimpangan jalan dekat rumahmu. Pukul 11 tepat.” Ucapnya lalu
pergi begitu saja. Aku hanya menunduk. Melihat ke jam tanganku, pukul 10 ucapku
dalam hati. Wahyu lalu datang sambil menaiki motornya.
“Ayo
Kido.” Ajaknya, aku lalu menaiki motornya, lalu pulang.
Setibanya dirumah, aku masih
kepikiran dengan ucapannya, dia mengajakku bertemu pukul 11 malam ini. Apa yang
akan dia lakukan? Memikirkannya saja sudah menyeramkan. Semoga saja tidak
terjadi apa-apa. Aku bergegas keluar rumah, sepertinya ibuku sudah tidur. Aku
berharap bisa keluar tanpa membangunkannya. Kasihan juga, besok kami akan
berangkat ke Amerika untuk berlibur, setidaknya membiarkan ibu beristirahat
karena sudah mengurus semua keperluan yang kita perlukan bukanlah hal yang
salah.
Aku sudah sampai ditempat yang
dimaksud, suasananya begitu hening dan tenang, sedikit menyeramkan karena tidak
semua sudut diterangi lampu. Aku melihat sekitar, mungkin dia sudah menunggu
ditempat lain. Aku melihat jam, pukul 11 tepat pikirku, tapi aku belum
melihatnya juga, dimana dia? Apa dia lupa dengan janjinya sendiri. Tidak lama
seorang pria berjaket datang. Seperti dugaanku, itu adalah Shinji.
“Ohh
sepertinya kau cukup berani.” Ucapnya.
“Apa
maksudmu?” Tanyaku. Kembali, tatapan menakutkan itu kembali menatapku. Ada apa
dengan orang ini? Apa dia kerasukan atau apa.
“Tidak.
Hanya saja untuk ukuran bocah SMA sepertimu, kau lumayan berani datang ketempat
seperti ini sendirian, aku pikir semua bocah SMA sama saja. Penakut dan
pengecut.” Ucapnya. Aku memiringkan kepala karena tidak mengerti, apa yang dia
bicarakan?
“Langsung
saja, ada apa menyuruhku kesini?” Tanyaku tanpa basa-basi. Dia lalu memegang
kerah bajuku dan mendorongku ke dinding.
“Baiklah
dengar bocah. Ada beberapa pertanyaan yang harus kau jawab dengan jujur.” Ucapnya.
Aku mulai sedikit takut.
“Kau
Kido kan? Kau tau siapa Veranda?” Tanyanya. Aku mengkerutkan keningku. Kakakku?
Kenapa dia bertanya tentangnya.
“Tentu
saja aku tau, mana mungkin aku tidak tau kakakku sendiri.” Ucapku yang masih
dalam keadaan terpojok.
“Jadi
benar. Kido yang sering disebut-sebutnya itu adalah kau. Adik tercintanya.”
Ucapnya, aku benar-benar tidak mengerti.
“Apa
yang kau maksud?” Tanyaku.
“Dia
pernah berbicara sesuatu tentang pacarnya atau apa?” Tanya nya, dia
menghiraukan pertanyaanku.
“Pacar?
Tidak pernah.” Ucapku. Aku mulai kesal padanya.
“Begitu.”
Ucapnya. Lama kelamaan dia membuatku semakin tidak bisa menahan emosi.
“Lepaskan!!”
Ucapku lalu memukul mukanya, dengan begitu tangannya berhasil terlepas dari
kerahku. Dia mundur beberapa langkah lalu mengelap darah yang keluar dari
mulutnya dengan punggung tangannya.
“Brengsek!!
Beraninya kau.” Ucapnya dengan nada tinggi.
“Diam!!
Dengar, aku tidak tau kenapa kau menanyakan hal-hal tentang kak Ve, siapa kau
dan kenapa kau bisa tau tentangnya dan juga kenapa kau bisa tau tentangku, adik
nya? Kau tidak memberikan sedikit penjelasan sama sekali.” Ucapku dengan nada
yang sama tinggi.
“Apa?
Bocah ingusan sepertimu tidak perlu diberi penjelasan apapun. Cukup menjawab
beberapa pertanyaan yang aku ajukan saja mengerti?” Ucapnya. Aku mulai merasa
kesal.
“Dengar!!
Aku tidak akan membiarkanmu berbuat macam-macam pada kakakku. Jika aku
melihatnya menangis dan terbukti itu karena perbuatanmu, aku akan mengejarmu
kemanapun kau lari.” Ucapku dengan penuh rasa kesal dan amarah. Yang benar
saja, dia bahkan tidak menjelaskan sedikit pun tentangnya dan kenapa dia bisa
mengenal kak Ve. Dia lalu berjalan mendekat kearahku.
“Baiklah
akan aku beritahu sesuatu yang menarik.” Ucapnya sambil mengepalkan tangannya.
Aku hanya berharap agar malam ini bisa berakhir dengan cepat. Yahh tidak perlu
aku ceritakan, namun pada akhirnya dia berhasil memukuliku. Tidak sampai 2
menitan aku sudah ambruk setengah sadar di persimpangan itu. Aku berusaha
berdiri, untuk pulang. Besok aku dan Ibu akan mulai berangkat ke Amerika, aku
tidak boleh mengecewakannya.
No comments:
Post a Comment