Thursday, September 1, 2016

Langit Biru Bagian 4

“Pindah?” Aku mulai memperbaiki posisi dudukku dan kini aku menghadap kepadanya dengan tatapan yang serius. “Tolong jelaskan lebih jelas lagi. Apa maksudnya kau akan pindah?”

“Sejujurnya, pertemuan besok sangat tidak diinginkan oleh ibuku. Dia sepertinya benar benar membenci ayahku. Rencananya lusa kami akan pindah rumah ke luar kota. Rumah disini akan tetap ditinggali oleh kakek nenekku. Ibuku melakukan itu karena kesal dengan ayahku, saat ini ayah tau tempat tinggal kami dan itu membuat ibuku tidak nyaman.” Jelasnya. Nafasku mulai terasa berat, aku harap ini semua hanyalah mimpi buruk dimalam hari dan aku akan segera bangun dari tidurku, namun genggaman tangannya terasa begitu hangat, dan menyadarkanku kalau ini bukanlah suatu mimpi buruk atau apapun itu.

Ini adalah kenyataannya, dan harus berpisah dengan orang orang yang aku sayangi sungguh menyakitkan, entah aku harus menyalahkan siapa dengan semua perpisahan pahit ini. Meski aku tau nantinya kita akan bertemu lagi. Tapi, suasana dan perasaan nanti pada saat bertemu kembali dengan sekarang itu akan sangat jauh berbeda.

“Lalu? Apa kita akan bertemu lagi?” Tanyaku dengan nada sedikit berat. Shani masih menggenggam tanganku, kulihat air matanya mulai jatuh. Sejujurnya aku juga ingin menangis sekencang kencangnya karena hal ini, tapi melihat kondisinya Shani.

Aku tidak mau menambah beban padanya. Aku harus tetap tersenyum meski sakit, harus tetap tegar meskipun rapuh, harus bisa menahan emosi yang meledak ledak ini. Mau bagaimana lagi, ini sudah pilihannya. Setuju ataupun tidak itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa dia akan pindah.

“Aku harap bisa. Tidak, harus bisa.” Ucapnya tersedu-sedu. Aku tersenyum kepadanya, agar dia menganggap kalau aku baik baik saja dengan kepergiannya. Aku tidak mau menambah beban lagi padanya jika aku menunjukan ekspresi kecewa atau apa.

“Baiklah… kemana sekarang kau ingin pergi?” Tanyaku. Dia mengusap air matanya.

“Eh? Apa maksudnya.” Tanyanya. Aku berdiri dan mengulurkan tanganku.

“Ayolah, ini bukan sebagai tanda perpisahan atau apa. Aku hanya ingin menikmati liburan ini bersamamu.” Ucapku, dia lalu menerima uluran tanganku.

“Baiklah, kedengarannya menyenangkan.” Ucap Shani sambil tersenyum. Syukurlah, akhirnya dia bisa tersenyum lagi. Melihatnya murung seperti tadi sungguh hal yang tidak ingin aku lihat lagi padanya, aku hanya berharap dia terus tersenyum seperti itu bagaimanapun beratnya cobaan hidup yang menimpanya nanti.

Pagi itu kami berjalan bersama menuju alun-alun kota. Disana ada banyak orang yang melakukan aktifitas, apalagi dihari liburan ini. Ada yang sedang mesra-mesranya berpacaran, lalu bersenang senang dengan keluarga mereka, ataupun bersantai dengan beberapa sahabat karib. Sungguh pemandangan yang baru kulihat di wilayah ini.

Ya! Maklum saja, aku termasuk orang rumahan. Tidak pernah pergi kemanapun kecuali memang ada yang mengajakku pergi. Kulihat Shani juga senang. Syukurlah paling tidak suasana seperti ini membuatnya lupa sejenak tentang masalah keluarga yang saat ini ia hadapi.

“Kido kau mau es krim?” Tawarnya.

“Ehh? Pagi-pagi begini?” Elakku. Shani mengangguk meyakinkanku.

“Ayolah.. makan satu saja tidak akan membuatmu sakitkan?” Ucapnya. Baiklah aku menyerah. Aku menuruti apa yang Shani mau. “Kau tunggu dikursi panjang itu saja, nanti aku kesana.” Ucapnya lagi lalu pergi membeli penjual es krim keliling.

Tidak lama setelah aku menunggunya dikursi, dia datang sambil membawa 2 buah es krim.

“Lama sekali.” Ucapku. Dia menghela nafas sejenak.

“Maaf tadi pembelinya banyak sekali.” Ucapnya sambil duduk disampingku dan memberikan eskrim yang dia beli itu padaku.

“Terimakasih.” Ucapku sambil mengambil eskrim itu. Dia tersenyum sambil mengangguk pelan.

“Sama-sama.” Balasnya. Aku menatapnya.

“Kau. Sepertinya suka sekali es krim?” Tanyaku. Dia mengangguk senang.

“Tentu saja, kebanyakan orang juga pasti menyukai es krim tau.” Ucapnya.

“Benarkah? Tapi aku biasa saja.” Ucapku.

“Kan tergantung selera masing-masing juga, ada yang suka ada juga yang tidak.” Ucapnya.

“Begitu ya.. Selera? Lalu bicara soal selera. Seperti apa laki-laki yang menjadi seleramu?” Tanyaku sambil menjilat eskrim di tanganku. Dia diam, tidak berbicara sedikitpun. Aku menoleh ke arahnya. “Ma-Maaf jika tiba-tiba aku menanyakan hal yang aneh seperti itu.” Ucapku dengan penuh penyesalan.

“Tidak apa apa kok. Hmm.. Kalau soal selera aku tidak terlalu harus seperti apa. Yang penting dia baik, bertanggung jawab, perhatian, sayang sama aku dan tentunya ibu aku. Dan sepertinya aku ingin pria yang beranggapan seperti ini ‘Tidak peduli bahkan seluruh dunia sekalipun memusuhi dan membenci Shani, aku akan tetap berada disampingnya untuk menemaninya selamanya’ begitu.” Jelasnya. Aku hanya mendengarkan penuturannya sambil sekali kali memakan es krim ditanganku. Begitu ya? Jadi Shani suka laki-laki yang seperti itu.

“Hee.. Sepertinya dia laki-laki yang hebat.” Ucapku.

“Tapi aku lebih suka pada lelaki yang tidak meniru atau memaksa jadi orang lain. Cukup jadi dirimu sendiri saja.” Ucapnya lalu menatapku.

“Apa Wahyu masuk dalam kriteriamu?” Tanyaku.

“Wahyu? Kenapa kau bertanya seperti itu?” Tanyanya balik.

“Asal kau tau, dia itu sangat suka padamu. Selama 6 bulan ini dia terus berjuang menyembunyikan perasaannya padamu. Entah kapan dia akan berbicara padamu secara langsung aku juga tidak tau.” Ucapku. Bukan maksudku untuk menurunkan citra Wahyu didepan Shani, aku hanya ingin membantunya untuk bisa jadian sama Shani. Jangan pedulikan perasaanku, teruslah berjalan jangan pernah lihat kanan kiri atau pun belakang. Aku akan terus mendukungmu Wahyu.

“Benarkah? Aku baru tau.” Ucapnya. Cihh apa hanya segitu saja responnya? “Bagaimana ya Kido.”

“Kenapa?” Tanyaku.

“Aku pikir kita semua berteman, aku bahkan tidak memiliki perasaan apapun padanya. Aku hanya menganggap dia sebagai teman, tidak bukan hanya itu. Dia itu sahabatku, jadi kalau tentang perasaan yang lebih dari itu aku tidak bisa membalasnya.” Ucapnya. Aku tertegun mendengarnya.

“Jadi begitu.” Ucapku sambil menjilati eskrimnya.

“Iya.” Ucapnya.

Hari itu kami melakukan banyak hal bersama-sama, dari pagi sampai sore. Kami bahkan belum pernah melakukan ini bersama-sama selama kami saling mengenal satu sama lain. Seakan akan kami harus membuat kenangan yang tidak akan terlupakan agar bisa terus saling mengingat satu sama lain nantinya.

“Jadi bagaimana Shani? Menyenangkan bukan?” Ucapku sambil tersenyum. Setelah melakukan semua aktifitas sampai sore hari, aku dan Shani pergi kesekolah. Duduk bersama dibangku taman sekolah.

“Tentu, aku tidak akan melupakan semuanya.” Ucapnya sambil tersenyum. Entahlah, sejujurnya aku tidak mau perasaan ini… perasaan ini.. perasaan yang bahkan aku tidak tau harus bersikap dan menjalaninya seperti apa. Ini seperti… seperti lebih baik tidak mengenalnya dari awal daripada harus kenal dan terlanjur sayang tapi malah dia akan pergi dengan tenggat waktu yang tidak ditentukan. Bahkan menurutku kepergiannya akan terasa seperti selamanya. Andai saja ada cara agar dia tetap berada didekatku, entah mau bagaimanapun caranya. Tapi, aku rasa itu mustahil dan mungkin ini sudah merupakan takdir yang ditentukan Tuhan untuk hidupku.

“Kido?” Ucapnya sambil menepuk pundakku beberapa kali, aku tersentak kaget.

“Ehh apa?” Ucapku.

“Ko diajak ngobrol malah diem aja. Kamu kenapa? Sakit?” Ucapnya dengan menunjukan raut wajah yang sedikit khawatir. Sepertinya tadi aku sedikit melamun dan mengabaikannya.

“Ahh ngga kok. Maaf maaf, aku membuatmu jadi khawatir.” Ucapku sedikit menenangkannya.

“Ohh iya katamu kak Ve masih Single kan?” Tanyanya.

“Iya memangnya kenapa?” Tanyaku lalu melirik kearahnya.

“Masa sih? Dilihat dari fotonya dia itu sangat cantik loh. Masa belum punya pacar sih?” Ucapnya. Aku mengangkat kedua bahuku.

“Entahlah, aku juga tidak begitu tau tentangnya.” Ucapku lalu berdiri dari bangku. Dia masih terus melihatku.

“Tapi aku yakin kak Ve punya seseorang yang spesial diluar sana.” Ucapnya dengan nada yakin.

“Biarlah.. Lagipula kalau dilihat dari ekspresi dan sikapnya selama ini, aku rasa dia cukup bahagia. Memang sih Ibu tidak melarang siapapun dari kami untuk berpacaran, tapi kak Ve pernah bilang langsung padaku kalau dia berjanji tidak akan berpacaran sebelum melihat Ibu benar-benar bahagia, karena dia bilang kalau misalnya dia punya pacar, perhatiannya pasti terbagi antara pacar, ibu dan aku tentunya.” Jelasku. Shani hanya mengangguk-angguk.

“Kakakmu hebat. Bisa sampai berpikiran sejauh itu.” Ucapnya. Aku mengangguk setuju.

“Yahh dia memang kakak yang luar biasa.” Ucapku. Angin kencang terus berhembus, disertai udara dingin yang terasa masuk melalui pori-pori tubuhku. Awan hitam terlihat juga disebelah selatan yang sepertinya juga akan menuju kearah utara kami.

“Sepertinya mau hujan. Kita pulang aja yu.” Ajaknya. Aku menyetujuinya karena dengan awan hitam setebal itu hujan pasti akan turun dengan sangat deras. Kami berlari dengan tergesa gesa. Aku menggandeng erat tangannya dan terus berlari.

“Jam berapa sekarang?” Tanyaku. Dia lalu melirik jam yang ada ditangannya.

“Jam 4.” Ucapnya. Kami terus berlari menuju perumahan tempat kami tinggal. Namun, hujan sudah turun dengan sangat deras sebelum kami sampai rumah. Kami terpaksa berteduh di depan sebuah bangunan yang sepertinya tempat berjualan sembako namun toko itu tutup.

Sudah satu jam lebih dan hujan masih belum mereda juga. Aku dan Shani masih berada ditempat itu, menunggu hujan mereda. Namun frekuensi hujan masih tetap sama dan bahkan kali ini ditambah kilatan dan suara gemuruh petir yang menggelegar. Sekali-kali Shani memegang erat tanganku saat petir itu mulai bergemuruh, mungkin dia takut petir. Tangannya terasa sangat dingin, kuharap dia baik-baik saja. Aku melihat-lihat sekitar, siapa tau ada orang yang berbaik hati menolong membawakan payung buat kami. Namun nihil, disana tidak ada siapapun kecuali aku dan Shani. Aku juga sudah menyuruh Shani untuk menelpon ibunya dan mengabarkan kalau dia baik-baik saja, takut ibunya merasa khawatir ketika anak perempuannya tidak ada dirumah disaat hujan deras dengan angin kencang dan suara petir yang begitu keras.

“Kenapa kau tidak menghubungi ibumu? Mungkin saat ini dia sangat khawatir padamu.” Ucapku. Dia menggelengkan kepala.

“Tidak!! Aku takut.” Ucapnya. Aku mengerenyitkan dahiku.

“Takut?” Ucapku heran.

“Banyak petir yang bersambaran disekitar sini. Nanti kalo aku menyalakan hp dan petir itu menyambar kita bagaimana?” ucapnya dengan tangan masih memegang erat tanganku. Aku hanya menatapnya.

“Benarkah? Apa itu pernah terjadi?” Tanyaku. Dia tidak menjawab. Kulihat ekspresinya seperti menggigil kedinginan, memang sih tadi kita sempat kehujanan walau hanya sebentar.
 
“Apa kau baik-baik saja Shani?” Ucapku sedikit khawatir.

“Iya. Mungkin hanya sedikit kedinginan saja.” Ucapnya. Aku tidak tega melihatnya, disaat seperti ini kuharap aku seperti pria-pria yang ada di film, melepaskan jaketnya lalu memakaikannya ke seorang perempuan yang kedinginan. Namun sayangnya hari ini aku tidak membawa jaket. Sial!!

“Bertahanlah, kuharap ini akan sedikit menghangatkanmu.” Ucapku sambil merangkulnya. Yah, mungkin hanya inilah yang bisa aku lakukan saat ini. Bukan mencari kesempatan dalam kesempitan, tapi ini keadaannya benar-benar darurat. Mengertilah!!

Tidak lama kemudian hujan mulai mereda. Angin kencang dan petirpun sudah jarang terdengar. Mungkin saatnya kita untuk pulang.

“Sudah reda. Ayo pulang Shani.” Ajakku. Dia tidak menjawab. Kuperhatikan sepertinya tubuhnya semakin bertambah berat dan condong kearahku.

“Shani.” Ucapku sambil menepuk bahunya. Dia masih tidak menjawab. Tubuhnya gontai dan sepertinya akan terjatuh, aku menahannya. Aku lihat wajahnya dan aku letakan tanganku didahinya. Tubuhnya sangat panas. Mungkinkah dia demam. Sial! Dan hal terburuknya adalah dia pingsan. Aku mengangkat tubuhnya dan berusaha mengantarnya kerumahnya. Meski sedikit berat aku terus berusaha.

No comments:

Post a Comment